Rabu, 11 Januari 2012

adlerian dalam pandangan islam

Adlerian, sebagai Ancangan Konseling salah satu ancangan yang berada dalam orientasi kognitif. Ancangan ini meyakini bahwa manusia pada hakekatnya termotivasi kepentingan sosial, berjuang mencapai tujuan; orang memegang kontrol atas lingkungan; mengkreasi gaya hidup yang unik sejak awal kehidupan. Konstruk inti mengenai kepribadian dirumuskan bahwa manusia bertumbuh, perlu mengambil tanggungjawab, mengkreasi nasibnya sendiri, menemukan makna dan tujuan sebagai arah hidup. Hakekat kecemasan terletak pada kegagalan atau hambatan individu memberi makna hidup sekarang dan ketakjelasan arah ke depan. Tujuan konseling adalah membantu individu mengkaji gaya-hidup, untuk melibat secara sosial, berperan sosial, menempuh tanggungjawab, penentu nasib kini dan ke masa depan. Teknik pokok adalah penekanan tanggungjawab bersama, misalnya dalam penetapan tujuan, kepercayaan dan respek; hubungan kooperatif dirupakan dalam bentuk kontrak. Pemakaian tes dan alat asesmen terutama asesmen kepribadian sangat sering dilakukan. Tinjauan masa lalu konseli dipandang tidak penting, dan cenderung ditinggalkan. Antara diagnosis dan prognosis, pengguna ancangan ini lebih menekankan pada prognosis. Klientil atau komunitas konseli dapat menyebar pada semua bidang kehidupan, tidak ada pembatasan konseli. Prosedur konseling dan keaktifan konselor ditampakkan dalam tahap-tahap: menyusun dan memantabkan tujuan, mengidentifikasi dinamika konseli, menyediakan interpretasi untuk insight, melakukan reorientasi yaitu dari pemahaman ke tindakan. Untuk itu, konselor terlibat secara aktif.






KONSEP KONSELING BERDASARKAN AYAT-AYAT AL QUR’AN TENTANG HAKIKAT MANUSIA, PRIBADI SEHAT, DAN PRIBADI TIDAK SEHAT
Sep 5, '07 1:15 AM
for everyone
Oleh: Abdul Hayat

ABSTRAK

Kajian ini adalah untuk menemukan konsep konseling berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an, yaitu tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat. Bentuk kajian ini adalah kajian pustaka yang bersifat kualitatif. Hasil kajian ini disimpulkan: manusia pada hakikatnya adalah makhluk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius. Pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah. Pribadi tidak sehat adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah.

Kata-kata kunci: Konsep konseling, hakikat manusia, pribadi sehat, pribadi tidak sehat

A. PENDAHULUAN
Dewasa ini terutama di dunia barat, teori Bimbingan dan Konseling (BK) terus berkembang dengan pesat. Perkembangan itu berawal dari berkembangnya aliran konseling psikodinamika, behaviorisme, humanisme, dan multikultural. Akhir-akhir ini tengah berkembang konseling spiritual sebagai kekuatan kelima selain keempat kekuatan terdahulu (Stanard, Singh, dan Piantar, 2000:204). Salah satu berkembangnya konseling spiritual ini adalah berkembangnya konseling religius.
Perkembangan konseling religius ini dapat dilihat dari beberapa hasil laporan jurnal penelitian berikut. Stanard, Singh, dan Piantar (2000: 204) melaporkan bahwa telah muncul suatu era baru tentang pemahaman yang memprihatinkan tentang bagaimana untuk membuka misteri tentang penyembuhan melalui kepercayaan , keimanan, dan imajinasi selain melalui penjelasan rasional tentang sebab-sebab fisik dan akibatnya sendiri. Seiring dengan keterangan tersebut hasil penelitian Chalfant dan Heller pada tahun 1990, sebagaimana dikutip oleh Gania (1994: 396) menyatakan bahwa sekitar 40 persen orang yang mengalami kegelisahan jiwa lebih suka pergi meminta bantuan kepada agamawan. Lovinger dan Worthington (dalam Keating dan Fretz, 1990: 293) menyatakan bahwa klien yang agamis memandang negatif terhadap konselor yang bersikap sekuler, seringkali mereka menolak dan bahkan menghentikan terapi secara dini.
Nilai-nilai agama yang dianut klien merupakan satu hal yang perlu dipertimbangkan konselor dalam memberikan layanan konseling, sebab terutama klien yang fanatik dengan ajaran agamanya mungkin sangat yakin dengan pemecahan masalah pribadinya melalui nilai-nilai ajaran agamanya. Seperti dikemukakan oleh Bishop (1992:179) bahwa nilai-nilai agama (religius values) penting untuk dipertimbangkan oleh konselor dalam proses konseling, agar proses konseling terlaksana secara efektif.
Berkembangnya kecenderungan sebagian masyarakat dalam mengatasi permasalahan kejiwaan mereka untuk meminta bantuan kepada para agamawan itu telah terjadi di dunia barat yang sekuler, namun hal serupa menurut pengamatan penulis lebih-lebih juga terjadi di negara kita Indonesia yang masyarakatnya agamis. Hal ini antara lain dapat kita amati di masyarakat, banyak sekali orang-orang yang datang ketempat para kiai bukan untuk menanyakan masalah hukum agama, tetapi justru mengadukan permasalahan kehidupan pribadinya untuk meminta bantuan jalan keluar baik berupa nasehat, saran, meminta doa-doa dan didoakan untuk kesembuhan penyakit maupun keselamatan dan ketenangan jiwa. Walaupun data ini belum ada dukungan oleh penelitian yang akurat tentang berapa persen jumlah masyarakat yang melakukan hal ini, namun ini merupakan realitas yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini.
Gambaran data di atas menunjukkan pentingnya pengembangan landasan konseling yang berwawasan agama, terutama dalam rangka menghadapi klien yang kuat memegang nilai-nilai ajaran agamanya. Di dunia barat hal ini berkembang dengan apa yang disebut Konseling Pastoral (konseling berdasarkan nilai-nilai Al Kitab) di kalangan umat Kristiani.
Ayat-ayat Al Qur’an banyak sekali yang mengandung nilai konseling, namun hal itu belum terungkap dan tersaji secara konseptual dan sistematis. Oleh karena itu kajian ini berusaha mengungkan ayat-ayat tersebut khususnya tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat, dan menyajikannya secara konseptual dan sistematis.
Allah mengisyaratkan untuk memberikan kemudahan bagi orang yang mau mempelajari ayat-ayat Al Qur’an. Firman Allah Swt. yang artinya
Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ? (Q.S. Al-Qamar: 40).

Ayat-ayat Al Qur’an itu mudah dipelajari, memahaminya tidak memerlukan penafsiran yang rumit, serta kandungannya bisa dikaitkan kepada hal-hal yang aktual, karena ayat-ayat Al Qur’an memang memuat fakta-fakta hukum yang bersifat emperik, sekaligus memuat nilai-nilai yang bersifat filosofis, sehingga isinya mudah diungkap dan bisa dikaitkan ke berbagai aspek realitas kehidupan.

B. METODE
1. Bentuk dan Sifat Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah berupa kajian pustaka (library research). Kajian pustaka berusaha mengungkapkan konsep-konsep baru dengan cara membaca dan mencatat informasi-informasi yang relevan dengan kebutuhan. Bahan bacaan mencakup buku-buku teks, jurnal atau majalah-majalah ilmiah dan hasil-hasil penelitian (Pidarta, 1999: 3-4).
Penelitian ini bersifat kualitatif karena uraian datanya bersifat deskriptif, menekankan proses, menganalisa data secara induktif, dan rancangan bersifat sementara (Bogdan & Biklen, 1990: 28-29).
2. Pendekatan dan Tahap-Tahap Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (content analysis) yang bersifat penafsiran (hermeneutik). Analisis isi merupakan metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen (Moleong, 2001:163). Adapun hermeneutik berarti penafsiran atau menafsirkan, yaitu proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Disiplin ilmu pertama yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci, seperti Al Qur’an, kitab Taurat, kitab-kitab Veda dan Upanishad (Sumaryono, 1999: 24-28). Jadi, analisis dalam penelitian ini adalah menganalisis data ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung relevan dengan konsep konseling, agar dapat diketahui dan dimengerti kandungan konselingnya secara jelas.
Adapun langkah-langkah dalam kajian ini adalahsenagai berikut:
Pertama. Menemukan konsep konseling tentang hakikat manusia, pribadi sehat dan pribadi tidak sehat dari teori-teori pendekatan konseling. Konsep tersebut ditelaah dari teori-teori pendekatan konseling yang paling banyak digunakan dalam dunia pendidikan yaitu; psikoanalitik, terapi Adlerian, terapi eksistensial, terapi terpusat pada pribadi, terapi gestalt, analisis transaksional, terapi perilaku, terapi rasional emotif, dan, terapi realita.
Kedua. Mencari dan mengumpulkan data ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung nilai-nilai konseling. Mencari dan mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung nilai-nilai konseling dengan berpijak pada sifat dan kriteria konsep pokok konseling yang pada langkah pertama.
Ketiga. Menetapkan ayat-ayat Al Qur’an yang relevan dengan konsep pokok konseling, menafsirkan, dan menguraikannya secara konseptual dan sistematis.
Keempat. Melakukan sintesis kandungan ayat-ayat Al Qur’an dengan konsep konseling, yaitu dengan mengungkap, menghubungkan dan menggabungkan secara kandungan ayat-ayat Al Qur’an yang telah ditetapkan dengan konsep pokok konseling sehingga terlihat dengan jelas relevansinya.
Kelima. Membuat ketetapan akhir dengan menyimpulkan bagaimana konsep konseling berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an secara konseptual dan sistematis.

C. HASIL KAJIAN
1. Hakikat Manusia
Menurut konsep konseling, manusia itu pada hakikatnya adalah sebagai makhluk biologis, makhluk pribadi, dan makhluk sosial. Ayat-ayat Al Qur’an menerangkan ketiga komponen tersebut. Di samping itu Al Qur’an juga menerangkan bahwa manusia itu merupakan makhluk religius dan ini meliputi ketiga komponen lainnya, artinya manusia sebagai makhluk biologis, pribadi, dan sosial tidak terlepas dari nilai-nilai manusia sebagai makhluk religius.
Menurut konsep konseling, manusia sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang menentukan kepribadian manusia berupa insting. Manusia hidup pada dasarnya memenuhi tuntutan dan kebutuhan insting. Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an potensi manusia yang relevan dengan insting ini disebut nafsu.
Menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an manusia itu pada hakikatnya adalah makhluk yang utuh dan sempurna, yaitu sebagai makhuk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius. Manusia sebagai makhluk religius meliputi ketiga komponen lainnya, yaitu manusia sebagai makhluk biologis, pribadi dan sosial selalu terikat dengan nilai-nilai religius.
a. Sebagai Makhluk Biologis
Menurut konsep konseling, manusia sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang menentukan kepribadian manusia berupa insting. Manusia hidup pada dasarnya memenuhi tuntutan dan kebutuhan insting. Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an potensi manusia yang relevan dengan insting ini disebut nafsu.
Potensi nafsu ini berupa al hawa dan as-syahwat. Syahwat adalah dorongan seksual, kepuasan-kepuasan yang bersifat materi duniawi yang menuntut untuk selalu dipenuhi dengan cepat dan memaksakan diri serta cenderung melampau batas (Ali-Imran: 14, Al-A’raf: 80, dan An-Naml:55.). Al Hawa adalah dorongan-dorongan tidak rasional, sangat mengagungkan kemampuan dan kepandaian diri sendiri, cenderung membenarkan segala cara, tidak adil yang terpengaruh oleh kehendak sendiri, rasa marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci yang berupa emosi atau sentimen. Dengan demikian orang yang selalu mengikuti al-hawa ini menyebabkan dia tersesat dari jalan Allah (An-Nisa:135, Shad: 26 dan An-Nazi’at: 40-41).
Ada tiga jenis nafsu yang paling pokok, yaitu: (1) nafsu amarah , yaitu nafsu yang selalu mendorong untuk melakukan kesesatan dan kejahatan (Yusuf:53), (2) nafsu lawwaamah, yaitu nafsu yang menyesal . Ketika manusia telah mengikuti dorongan nafsu amarah dengan perbuatan nyata, sesudahnya sangat memungkinkan manusia itu menyadari kekeliruannya dan membuat nafsu itu menyesal (Al Qiyamah:1-2), dan (3) nafsu muthmainnah, yaitu nafsu yang terkendali oleh akal dan kalbu sehingga dirahmati oleh Allah swt.. Ia akan mendorong kepada ketakwaan dalam arti mendorong kepada hal-hal yang positif (Al-Fajr: 27-30).
b. Sebagai Makhluk Pribadi
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam Terapi Terpusat pada Pribadi, Terapi Eksistensial, Terapi Gestalt, Rasional Emotif Terapi, dan Terapi Realita. Manusia sebagai makhluk pribadi memiliki ciri-ciri kepribadian pokok sebagai berikut: (1) memiliki potensi akal untuk berpikir rasional dan mampu menjadi hidup sehat, kreatif, produktif dan efektif, tetapi juga ada kecendrungan dorongan berpikir tidak rasional (2) memiliki kesadaran diri, (3) memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan dan bertanggung jawab, (4) merasakan kecemasan sebagai bagian dari kondisi hidup, (5) memiliki kesadaran akan kematian dan ketiadaan, (6) selalu terlibat dalam proses aktualisasi diri.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, manusia mempunyai potensi akal untuk berpikir secara rasional dalam mengarahkan hidupnya ke arah maju dan berkembang (Al-Baqarah: 164, Al-Hadid:17, dan Al-Baqarah: 242), memiliki kesadaran diri (as-syu’ru) (Al-Baqarah:9 dan 12 ), memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan (Fushilat: 40, Al-Kahfi: 29, dan Al-Baqarah: 256 ) serta tanggung jawab (Al-Muddatsir: 38, Al-Isra: 36, Al-Takatsur: 8 ). Sekalipun demikian, manusia juga memiliki kondisi kecemasan dalam hidupnya sebagai ujian dari Allah yang disebut al khauf (Al-Baqarah: 155), memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan fitrahnya kepada pribadi takwa (Ar-Ruum: 30, Al-A’raf: 172-174, Al-An’am:74-79, Ali-Imran: 185, An-Nahl: 61, dan An-Nisa: 78).
c. Sebagai Makhluk Sosial
Menurut konsep konseling, seperti yang diungkapkan dalam Terapi Adler, Terapi Behavioral, dan Terapi Transaksional, manusia sebagai memiliki sifat dan ciri-ciri pokok sebagai berikut: (1) manusia merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan, tetapi juga sekaligus sebagai produser terhadap lingkungannya, (2) prilaku sangat dipengaruhi oleh kehidupan masa kanak-kanak, yaitu pengaruh orang tua (orang lain yang signifikan), (3) keputusan awal dapat dirubah atau ditinjau kembali, (4) selalu terlibat menjalin hubungan dengan orang lain dengan cinta kasih dan kekeluargaan.
Sebagai makhluk sosial, Al Qur’an menerangkan bahwa sekalipun manusia memilikipotensi fitrah yang selalu menuntut kepada aktualisasi iman dan takwa, namun manusia tidak terbebas dari pengaruh lingkungan atau merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan terutama pada usia anak-anak. Oleh karena kehidupan masa anak-anak ini sangat mudah dipengaruhi, maka tanggung jawab orang tua sangat ditekankan untuk membentuk kepribadian anak secara baik (At-Tahrim: 6) Namun demikian, setelah manusia dewasa (mukallaf), yakni ketika akal dan kalbu sudah mampu berfungsi secara penuh, maka manusia mampu mengubah berbagai pengaruh masa anak yang menjadi kepribadiannya (keputusan awal) yang dipandang tidak lagi cocok (Ar-Ra’du: 85 dan Al-Hasyr:18), bahkan manusia mampu mempengaruhi lingkungannya (produser bagi lingkungannya) (Al-Ankabut: 7, Al-A’raf: 179, Ali-Imran: 104, Al-Ashr:3, dan At-Taubah:122). Sebagai makhluk sosial ini pula manusia merupakan bagian dari masyarakat yang selalu membutuhkan keterlibatan menjalin hubungan dengan sesamanya, hal ini disebut dengan silaturrahmi (Al-Hujurat:13, Ar-Ra’du: 21, dan An Nisa: 1).
d. Sebagai Makhluk Religius
Konsep konseling tidak ada menerangkan manusia sebagai makhluk religius. Sebagai makhluk religius manusia lahir sudah membawa fitrah, yaitu potensi nilai-nilai keimanan dan nilai-nilai kebenaran hakiki. Fitrah ini berkedudukan di kalbu, sehingga dengan fitrah ini manusia secara rohani akan selalu menuntut aktualisasi diri kepada iman dan takwa dimanapun manusia berada (Ar-Ruum: 30 dan Al-A’raf:172-174). Namun tidak ada yang bisa teraktualisasikan dengan baik dan ada pula yang tidak, dalam hal ini faktor lingkungan pada usia anak sangat menentukan. Manusia sebagai makhluk religius berkedudukan sebagai abidullah dan sebagai khalifatullah di muka bumi.
Abidullah merupakan pribadi yang mengabdi dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Allah(Adz-Dzariyat: 56). Hal ini disebut ibadah mahdhah. Khalifatullah merupakan tugas manusia untuk mengolah dan memakmurkan alam ini sesuai dengan kemampuannya untuk kesejahteraan umat manusia, serta menjadi rahmat bagi orang lain atau yang disebut rahmatan lil’alamin (Al-Baqarah: 30).
2. Pribadi Sehat
Berdasarkan konsep konseling bahwa pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sosial. Al Qur’an di samping menerangkan pribadi yang sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya terhadap diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sosial, juga menerangkan pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt.
a. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut konsep konseling, seperti dikemukakan dalam Psikoanalisis, Eksistensial, Terapi Terpusat pada Pribadi dan Rasional Emotif Terapi.. Pribadi yang mampu megngatur diri dalam hubungannya terhadap diri sendiri memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) ego berfungsi penuh, serta serasinya fungsi id, ego dan superego, (2) bebas dari kecemasan, (3) keterbukaan terhadap pengalaman, (4) percaya diri, (5) sumber evaluasi internal, (6) kongruensi, (7) menerima pengalaman dengan bertanggung jawab, (8) kesadaran yang meningkat untuk tumbuh secara berlanjut, (9) tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan), dan (10) menerima diri sendiri.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri yang relevan dengan kriteria pokok di atas adalah pribadi yang akal dan kalbunya berfungsi secara penuh dalam mengendalikan dorongan nafsu (Al-Qashas: 60, Yasin: 62). Mampu membebaskan diri dari khauf (kecemasan) (Al Baqarah: 38, Al Baqarah: 62, 277, Al-An’am: 48 dan Ar-Ra’du: 28). Apabila manusia dapat mengatasi atau terbebas dari kecemasan ini akan melahirkan kepribadian yang sehat seperti pribadinya para aulia Allah (Yunus: 62). Keterbukaan terhadap pengalaman (Az-Zumar:17-18, Ali-Imran:193). Percaya diri, sikap percaya diri ini ada pada orang yang istiqamah (konsisten) dalam keimanan, mereka ini tidak ada rasa cemas, rasa sedih (Fushilat: 30, Al-Ahqaf: 13, Ali-Imran: 139). Mampu menjadikan hati nurani yang dilandasi iman sebagai kontrol diri dalam setiap gerak dan kerja (sumber evaluasi internal), sikap ini tercermin dalam kepribadian ihsan yaitu pola hidup yang disertai kesadaran yang mendalam bahwa Allah itu hadir bersamanya (Ali-Imran: 29, Ar-Ra’du:11, Qaaf:16-18).
Di samping itu, juga merupakan pribadi yang sehat adalah pribadi yang memiliki kepribadian shidiq, yaitu sifat kongruensi serasi antara apa yang ada di dalam hati dengan perbuatan, memegang teguh kepercayaan, serasi antara sikap dan perilaku (Al-Ahzab: 23-24), mau menerima pengalaman dan bertanggung jawab, salah satu bentuk penerimaan terhadap pengalaman dengan bertanggung jawab adalah berusaha memperbaiki dan tidak mengulangi apabila melakukan kesalahan (An-Nisa: 110, Ali-Imran:135), serta adanya kesediaan untuk tumbuh secara berlanjut, yaitu sealalu berusaha mengubah diri sendiri ke arah yang lebih baik dan bersegera melakukannya (Ar-Ra’du: 11, Al-Anfal: 53, Ali-Imran:114, dan Fathir: 32), memiliki sikap tawakkal dan menyandarkan usaha dan harapan kepada Allah dengan kata insya Allah, dengan kata lain tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan) (Al-Imran: 140, Al-Insyirah: 5-8, Al-Kahfi:23-24, Ali-Imran:159, dan Al-Anfal: 61,49), serta mampu bersyukur atas apa yang ada dan terjadi pada diri sendiri atau menerima diri sendiri. (An-Nahl: 78, Ibrahim:7, dan An-Naml: 40).
b. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Menurut konsep konseling seperti dikemukakan dalam Terapi Adler, Behavioral, Transaksional, dan Terapi Realita, bahwa pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya terhadap orang lain memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) mau berkarya dan menyumbang, serta mau memberi dan menerima, (2) memandang baik diri sendiri dan orang lain (I ‘m Ok you are Ok ), (3) signifikan dan berharga bagi orang lain, dan (4) memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain yang relevan dengan kriteria pkk di atas adalah pribadi yang mau melakukan amal saleh, yaitu perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya dan juga orang lain (An-Nisa: 124, Al-Ashr: 1-3, At-Tin:5-6). Disamping amal saleh, adalah bersikap ta’awwun, yaitu saling memberi dan menerima atau tolong menolong atau sikap mau memberi dan menerima (An-Nisa: 86), sikap ini atas dasar kebajikan dan ketakwaan, bukan dalam hal kejahatan dan kemunkaran (Al-Ma’idah:2), berpikiran positif (husnus zhan) baik terhadap diri sendiri dan orang lain (Al-Hujurat: 11, Al-Baqarah: 237, Ali-Imran:134, dan At-Taghabun:14).
Di samping hal-hal di atas dia juga mau mengerjakan amar ma’ruf dan nahi mungkar, selalu berbuat adil kepada siapapun dalam arti signifikan dan berharga bagi orang lain (Ali-Imran:104, At-Tahrim:6, dan Al-Midah: 8), dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain, baik dalam bermuamalah maupun beribadah secara langsung maupun tidak langsung (Al-Baqarah: 275, An-Nisa: 29). Hal ini banyak sekali dicontohkan dalam hadits Nabi, misalnya Nabi melarang orang duduk-duduk dipinggir jalan yang membuat orang yang mau lewat merasa terganggu, begitu juga menghormati lawan bicara dengan memperhatikan dia bicara, juga menghormati hak-hak tetangga dari kemungkinan perbuatan kita yang mengganggunya, dan Nabi memendekkan bacaan ayat Al Qur’an dalam shalat berjemaah ketika mendengan salah satu anggota jemaahnya ada anaknya yang menangis.
c. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam teorinya Adler dan Behavioral. Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang mampu berinteraksi dengan lingkungannya dan dapat menciptakan atau mengolah lingkungannya secara baik.
Al Qur’an menerangkan, bahwa Allah menciptakan semua yang ada di bumi ini adalah untuk kepentingan manusia (Al-Baqarah: 29). Berbagai kerusakan di alam ini adalah akibat dari perbuatan manusia sendiri (Ar-Rum: 41). Untuk itu pribadi yang sehat adalah pribadi yang peduli terhadap lingkungannya, ia berusaha mengambil pelajaran dari apa yang terjadi di lingkungannya (Ali-Imran: 137).
d. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Konsep konseling tidak ada menerangkan hal ini. Al Qur’an merangkan bahwa pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt. antara lain adalah pribadi yang selalu meningkatkan keimanannya yang dibuktikan dengan melaksanakan ibadah dengan benar dan ikhlas, menjalankan muamalah dengan benar dan dengan niat yang ikhlas (Az-Zumar: 2 dan 11 hal.151 dan Al-Bayyinah: 5, At-Taubah: 105). Di samping itu juga pribadi yang mampu menjalankan secara seimbang diri sebagai abidullah yang selalu beribadah sesuai tuntunan-Nya, juga menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai khalifatullah dengan baik (hablun minallah dan hablun minannas) sehingga dari segi kehidupan dunianya sejahtera, amal akhiratnya berjalan dengan baik (Al-Qashash: 77, Al-Baqarah: 201).

3. Pribadi Tidak Sehat
Berdasarkan konsep konseling, pribadi tidak sehat adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Ayat-ayat Al Qur’an di samping menerangkan tentang pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan, juga menerangkan pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt.
a. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam pendekatan Psikoanalisis, Eksistensial, Terapi Terpusat pada Pribadi dan Rasional Emotif Terapi, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri memiliki ciri kepribadian pokok: (1) ego tidak berfungsi penuh serta tidak serasinya antara id, ego, dan superego, (2) dikuasai kecemasan, (3) tertutup (tidak terbuka terhadap pengalaman), (4) rendah diri dan putus asa, (5) sumber evaluasi eksternal, (6) inkongruen, (7) tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, (8) kurangnya kesadaran diri, (9) terbelenggu ide tidak rasional, (10) menolak diri sendiri.
Al Qur’an menerangkan pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri adalah pribadi yang akal dan kalbunya tidak berfungsi dengan baik dalam mengendalikan nafsu, sehingga nafsu berbuat sekehendaknya, penuh emosi, tidak terkendali dan tidak bermoral (Yunus: 100, Al-Anfal: 22, Al-Haj:46, Al-A’raf: 179, Maryam: 59, An-Nisa: 27, dan Al-Jatsiah: 23). Di samping itu, pribadi yang tidak mampu membebaskan diri dari kecemasan (al khauf), sedang kecemasan itu sendiri terlahir dari kekufuran, kemusyrikan, atau perbuatan dosa baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia (Ali-Imran:151). Pribadi yang ta’ashub, yaitu tidak terbuka terhadap pengalaman terutama sesuatu yang datang dari orang yang bukan golongan dan alirannya, walaupun pengalaman baru itu merupakan kebenaran (Al-Maidah: 104, Lukman: 21 dan 7, Yunus 78).
Di samping itu, juga pribadi yang tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, yaitu suka melemparkan kesalahannya kepada orang lain, atau tidak mengakuinya (Al-A’raf: 8, dan An-Nisa:112)., dan yang lebih parah lagi adalah berkepribadian munafik (inkongruen), yaitu ketidakserasian antara apa yang di dalam hati dengan yang dilahirkan, antara perkataan dan perbuatan, dan antara perbuatan di satu tempat dengan tempat yang lain dengan maksud mencari keuntungan pribadi dalam konseling disebut dengan inkongruensi (As-Shaf: 2-3, Al-Baqarah:44, 8, An-Nisa: 145). Juga sifat riya yaitu pribadi yang mengevaluiasi dirinya berdasarkan evaluasi eksternal (Al-Baqarah: 264, An-Nisa: 142, Al-Ma’un: 4-6, dan Al-Anfal: 47), kurangnya kesadaran diri dan tidak konstruktif (Al-Baqarah: 9 dan 12, An-Naml:27), juga orang yang tidak pandai bertawakkal (terbelenggu ide tidak rasional atau tuntutan kemutlakan) (Fushilat: 49, Luqman: 34), rendah diri dan putus asa (ya’uus/qunuut) (Al-hujurat: 1, Al-Isra: 83, Huud: 9, dan Al-Hijr: 56). Kemudian, pribadi yang tidak pandai bersyukur terhadap nikmat Allah atau menolak terhadap diri sendiri (Shaad: 27 dan Ali-Imran:191, Ar-Ruum: 44 hal. 177 dan Ibrahim: 7).
b. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam Terapi Adler, Terapi Behavioral, Transaksional, dan Terapi realita, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) egois dan tidak mau menyumbang dan lebih suka menerima, (2) memandang diri sendiri benar sedang orang lain tidak (jelek), (3) tidak konstruktif, dan (4) memenuhi kebutuhan sendiri dengan tidak peduli (merampas) hak orang lain.
Al Qur’an menerangkan, pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang bakhil dalam arti egois dan tidak mau menyumbang atau membelanjakan hartanya di jalan kebajikan (Al-Lail: 8-10, Ali-Imran:175, dan Muhammad: 38), tidak mau saling menolong (ta’awun) atau lebih suka menerima daripada memberi (Al-Ma’arij:19-21), memiliki sifat marhun dan takabbur yaitu sifat sombong dan merasa diri lebih besar dan berharga daripada orang lain (Al-Isra: 37, Luqman:18 hal.180-181), orang yang memiliki sifat ini akan mudah melakukan hal-hal yang negatif terhadap orang lain, seperti su’us zhan (berpikir negatif), tajassus yaitu suka mencari-cari kesalahan orang lain, sedang kesalahan sendiri tidak diperhatikan, ghibah yaitu menggunjing sesama dan sebagainya (lihat Q.S. Al-Hujurat:12).
Di samping itu, juga pribadi yang senang melihat orang lain susah, enggan melakukan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu menyuruh berbuat baik dan mencegah kejahatan dengan kata lain adalah pribadi yang tidak konstruktif (An-Nur:19, Al-Baqarah: 11, dan As-Syu’ara: 152-152), pribadi yang dalam memenuhi kebutuhannya sendiri dengan tidak menghargai atau mengorbankan hak orang lain, seperti berbisnis dengan riba, memperoleh harta dengan jalan batil, yaitu curang, menipu, mengurangi takaran dan timbangano dalan berjual beli, menunda-nunda pembayaran upah buruh, dan sebagainya (Ali-Imran: 130, Al-Baqarah: 278, An-Nisa:161, Al-Baqarah: 188, dan An-Nisa: 29).
c. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Menurut konsep konseling seperti dikemukakan dalam Terapi Adeler dan Terapi Behavioral, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi dan mengelola lingkungannya secara baik, sehingga bisa melakukan hal-hal yang membuat lingkungan menjadi rusak.
Senada dengan konsep konseling di atas, Al Qur’an menerangkan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi denganlingkungannya secara baik, sehingga ia tidak peduli dengan kerusakan lingkungan, atau ikut berbuat sesuatu yang bisa merusak lingkungannya, sekaligus tidak mampu membuat lingkungannya menjadi kondusif bagi kehidupan Al Qur’an mengungkapkan bahwa terjadinya kerusakan di bumi ini adalah karena perbuatan manusia (Ar-Ruum: 41, Al-Baqarah: 204-205 dan Al-Qashash: 77).
d. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Konsep konseling tidak ada menerangkan hal ini. Menurut Al Qur’an, pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah antara lain adalah pribadi yang kufur dan syirik. Pribadi kufur adalaho pribadi yang tidak beriman dan enggan menjalankan syari’at Allah (hukum-hukum Allah), termasuk juga sebagai kufur orang yang dengan sengaja tidak mau menjalankan ibadah kepada Allah Swt., dan tidak menerima dengan syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah (kufur nikmat). Dalam melakukan muamalah orang yang memiliki kepribadian kufur cenderung berlaku zhalim, mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan hak orang lain(Al Baqarah: 6, Maryam: 59, At-Taubah: 35, An Nisa: 168). Di samping kekufuran, kesalahan yang sangat fatal terhadap Allah Swt. adalah syirik, yaitu “menyekutukan Tuhan”. Orang yang kena penyakit syirik ini meyakini bahwa Allah Swt adalah Tuhannya, namun amal perbuatannya diorientasikan bukan untuk Allah, melainkan untuk sesuatu yang lain, seperti kepada roh halus, atau semata-mata untuk manusia, baik dalam melakukan ibadah maupun dalam bermuamalah (An Nisa: 48, 36, dan Al Kahfi: 110).
Kemudian, pribadi yang tidak mampu memungsikan diri secara seimbang antara diri sebagai abidullah dan sebagai khalifah, baik hanya mengutamakan urusan keduniaan dan ibadah tertinggalkan, atau lebih mengutamakan ibadah dan urusan keduniaan tertinggalkan (Ali-Imran: 112).

D. PEMBAHASAN
1. Hakikat Manusia
a. Sebagai Makhluk Biologis
Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an, manusia mempunyai potensi nafsu, yaitu al hawa dan as-syahwat. Syahwat adalah dorongan seksual, kepuasan-kepuasan yang bersifat materi duniawi yang menuntut untuk selalu dipenuhi dengan cepat dan memaksakan diri serta cenderung melampaui batas. Al Hawa adalah dorongan yang tidak rasional, cenderung membenarkan segala cara, tidak adil yang terpengaruh oleh kehendak sendiri, rasa marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci yang berupa emosi atau sentimen. Ada tiga jenis nafsu yang paling pokok, yaitu: nafsu amarah , yaitu nafsu yang selalu mendorong untuk melakukan kesesatan dan kejahatan, nafsu lawwaamah, yaitu nafsu yang menyesal, dan nafsu muthmainnah, yaitu nafsu yang terkendali ia akan mendorong kepada ketakwaan dalam arti mendorong kepada hal-hal yang positif.
Keterangan ini relevan dengan konsep konseling sebagaimana dikemukakan oleh Freud dalam Psikoanalisisnya bahwa manusia memiliki potensi dasar isnting yang dalam pembentukan kepribadian berkedudukan dalam id, yaitu sumber utama energi psikis berupa dorongan seksual (libido), dorongan hidup (eros) dandorongan agresip merusak diri (thanatos), dorongan ini tidak rasional,tidak bermoral, memaksakan kehendak yang berada di luar kesadaran manusia.

b. Sebagai Makhluk Pribadi
Al Qur’an menerangkan bahwa manusia mempunyai potensi akal untuk berpikir secara rasional dalam mengarahkan hidupnya ke arah maju dan berkembang, memiliki kesadaran diri (as-syu’ru), memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan serta tanggung jawab. Sekalipun demikian, manusia juga memiliki kondisi kecemasan dalam hidupnya sebagai ujian dari Allah yang disebut al khauf, memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan fitrahnya kepada pribadi takwa, memiliki kesadaran (as syu’ru) begitu juga tentang kematian ia akan datang kapan saja dan dimana saja dan tidak diketahui sebelumnya, sebab kematian adalah merupakan urusan Allah semata.
Keterangan tersebut relevan dengan konsep konseling, yaitu manusia ada bersama orang lain oleh karena itu manusia harus memiliki kepribadian yang eksis. Pribadi yang eksis itu menurut konsep konseling adalah pribadi yang memiliki potensi kemampuan berpikir rasional, memiliki kesadaran diri, memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan, bertanggung jawab atas arah pilihan yang ditentukan sendiri, merasakan kecemasan sebagai bagian dari kondisi hidup, memiliki kesadaran akan kematian dan ketiadaan, dan selalu terlibat dalam proses aktualisasi diri
c. Sebagai Makhluk Sosial
Manusia memiliki fitrah yang selalu menuntut kepada aktualisasi iman dan takwa, namun manusia tidak terbebas dari pengaruh lingkungan terutama pada usia anak-anak. Namun demikian, setelah manusia dewasa (mukallaf), yakni ketika akal dan kalbu sudah mampu berfungsi secara penuh, maka manusia mampu mengubah berbagai pengaruh masa anak yang menjadi kepribadiannya (keputusan awal) yang dipandang tidak lagi cocok, bahkan manusia mampu mempengaruhi lingkungannya (produser bagi lingkungannya). Manusia membutuhkan keterlibatan menjalin hubungan dengan sesamanya, hal ini disebut dengan silaturrahmi, memiliki hati nurani (kalbu), dan mampu melakukan amal shalih.
Keterangan di atas relevan dengan konsep konseling yang mengungkapkan bahwa manusia ada merupakan bagian dari masyarakat dan dunia sosial, sehingga kita tidak berarti tanpa adanya orang lain. Manusia sebagai makhluk sosial, ia merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan, tetapi juga sekaligus sebagai produser terhadap lingkungannya, prilaku sangat dipengaruhi oleh kehidupan masa kanak-kanak, yaitu pengaruh orang tua (orang lain yang signifikan), keputusan dapat ditinjau kembali apabila keputusan yang telah diambil terdahulu tidak lagi cocok, ia selalu menjalin hubungan dengan orang lain dengan cinta kasih dan kekeluargaan, membuat dan menyumbang, menerima diri sendiri dengan apa adanya, dan memiliki komponen superego, yaitu kode moral dan nilai ideal yang mampu membedakan baik dan buruk, benar dan salah.
d. Sebagai Makhluk Religius
Manusia lahir sudah membawa fitrah, yaitu potensi nilai-nilai keimanan dan kebenaran hakiki. Fitrah ini berkedudukan di kalbu, sehingga dengan fitrah ini manusia secara rohani akan selalu menuntut aktualisasi diri kepada iman dan takwa dimanapun manusia berada. Namun ada yang bisa teraktualisasikan dengan baik dan ada pula yang tidak, dalam hal ini faktor lingkungan pada usia anak sangat menentukan. Manusia sebagai makhluk religius berkedudukan sebagai abidullah dan sebagai khalifatullah di muka bumi.
Abidullah merupakan pribadi yang mengabdi dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Allah. Khalifatullah merupakan tugas manusia untuk mengolah dan memakmurkan alam ini sesuai dengan kemampuannya untuk kesejahteraan umat manusia, serta menjadi rahmat bagi orang lain atau yang disebut rahmatan lil’alamin.
Konsep ini tidak diterangkan dalam konsep konseling.
2. Pribadi Sehat
Pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah Swt.
a. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut keterangan Al Qur’an pribadi sehat dalam hubungannya dengan diri sendiri adalah pribadi yang akal dan kalbunya berfungsi secara penuh dalam mengendalikan dorongan nafsu, mampu membebaskan diri dari khauf (kecemasan), memiliki kebebasan dan bertanggung jawab, berbuat atas pertimbangan sendiri serta siap bertanggung jawab baik terhadap sesama manusia maupun kepada Allah Swt.. Dismping itu juga pribadi yang memiliki kepribadian shidiq dan amanah, mampu menjadikan hati nurani yang dilandasi iman sebagai kontrol diri dalam setiap gerak dan kerja (ihsan), serta sealalu berusaha mengubah diri sendiri ke arah yang lebih baik dan bersegera melakukannya, memiliki sikap tawakkal, serta mampu bersyukur atas apa yang ada dan terjadi pada diri sendiri atau menerima diri sendiri (qana’ah).
Keterangan ini relevan dengan konsep konseling yang menegaskan bahwa pribadi sehat itu memiliki ciri-ciri pokok: ego berfungsi penuh, serta sesuainya antara id, ego dan superego, bebas dari kecemasan, keterbukaan terhadap pengalaman, memiliki kebebasan dan tanggungjawab, kongruensi, sumber evaluasi internal, kesadaran yang meningkat untuk tumbuh secara berlanjut, serta tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan), menerima diri sendiri dan percaya diri.
b. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang mau melakukan amal saleh, bersikap ta’awwun, yaitu saling memberi dan menerima atau tolong menolong, menerima pengalaman dan bertanggung jawab sekalipun pengalaman itu buruk dan menyakitkan, berpikiran positif (husnus zhan). Di samping itu dia juga mau mengerjakan amar ma’ruf dan nahi mungkar, selalu berbuat adil kepada siapapun, dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain, baik dalam bermuamalah maupun beribadah secara langsung maupun tidak langsung.
Keterangan ini relevan dengan Berdasarkan keempat teori ini, pribadi yang benar terhadap orang lain adalah pribadi yang mau menyumbang, memberi dan menerima, menerima pengalaman dan bertanggungjawab, memandang baik diri sendiri dan orang lain (I ‘m ok your are ok), signifikan dan berharga bagi orang lain, dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain.
c. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang peduli, menjaga dan memelihara kelestarian lingkungannya, dan pribadi yang mampu memproduk lingkungan menjadi kondosip bagi kehidupan.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam teorinya Adler dan Behavioral yang menegaskan bahwa pribadi yang benar terhadap lingkungan adalah pribadi yang mempu berhubungan baik dengan lingkungan, juga berbuat sesuatu guna mengolah lingkungan menjadi baik, minimal tidak membuat sesuatu yang bisa merusak lingkungan, sehingga tercipta lingkungan yang kondusif bagi kehidupan.
d. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt. adalah pribadi yang selalu meningkatkan keimanannya yang dibuktikan dengan melaksanakan ibadah dengan benar dan ikhlas, menjalankan muamalah dengan benar dan dengan niat yang ikhlas. Di samping itu juga pribadi yang mampu menjalankan secara seimbang diri sebagai abidullah yang selalu beribadah sesuai tuntunan-Nya, juga menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai khalifatullah dengan baik (hablun minallah dan hablun minannas) sehingga dari segi kehidupan dunianya sejahtera, amal akhiratnya berjalan dengan baik.
Keterngan ini tidak dijelaskan dalam konsep konseling.

3. Pribadi Tidak Sehat
Pribadi tidak sehat pada hakikatnya adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungan dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah Swt.
a. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri adalah pribadi yang akal dan kalbunya tidak berfungsi dengan baik dalam mengendalikan nafsu, sehingga nafsu berbuat sekehendaknya, penuh emosi, tidak terkendali dan tidak bermoral, tidak mampu membebaskan diri dari kecemasan (al khauf), sedang kecemasan itu sendiri terlahir dari perbuatan dosa baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia, ta’ashub yaitu tidak terbuka terhadap pengalaman, tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, dan yang lebih parah lagi adalah berkepribadian munafik, riya yaitu beramal hanya untuk dilihat orang lain, kurang memiliki kesadaran diri dan tidak konstruktif, tidak pandai bertawakkal, rendah diri (ya’uus ) dan putus asa (qunuut).
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menegaskan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur hubungan dengan diri sendiri itu memiliki ciri-ciri kepribadian sebagai berikut: ego tidak berfungsi penuh, tidak serasinya antara id, ego, dan superego, dikuasai kecemasan, tidak terbuka terhadap pengalaman, tidak mengakui pengalaman atau tidak bertanggung jawab, inkongruen, sumber evaluasi eksternal, kurangnya kesadaran diri, tidak konstruktif, terbelenggu ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan), serta rendah diri putus asa.
b. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang bakhil dalam arti egois dan tidak mau menyumbang atau membelanjakan hartanya di jalan kebajikan, tidak mau saling menolong (ta’awun), memiliki sifat marhun dan takabbur yaitu sifat sombong dan merasa diri lebih besar dan berharga daripada orang lain, su’us zhan (berfikir negatif), tajassus yaitu suka mencari-cari kesalahan orang lain, ghibah yaitu menggunjing sesama, kufur nikmat, enggan melakukan amar ma’ruf nahi munkar, gemar melakukan riba, memperoleh harta dengan jalan batil, yaitu perbuatan yang cendrung hanya menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain, dan sebagainya.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menerangkan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang egois dan tidak mau menyumbang, memandang diri sendiri baik sedang orang lain jelek (I’m ok your are not ok), berpikiran negatif terhadap orang lain, ketidak mampuan menyesuaikan diri secara psikologis, memenuhi kebutuhan sendiri dengan mengorbankan (merampas) hak orang lain.
c. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi dengan lingkungannya secara baik, sehingga ia tidak peduli dengan kerusakan lingkungan, atau ikut berbuat sesuatu yang bisa merusak lingkungannya, sekaligus tidak mampu membuat lingkungannya menjadi kondusif bagi kehidupan.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menerangkan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak bisa membangun hubungan baik dengan alam atau kosmos, dan ikut berperilaku yang bisa merusak lingkungan..
d. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah adalah pribadi yang kufur dan syirik. Pribadi kufur adalah pribadi yang tidak beriman dan enggan menjalankan syari’at Allah (hukum-hukum Allah), termasuk juga sebagai kufur orang yang dengan sengaja tidak mau menjalankan ibadah kepada Allah Swt. yaitu ibadah-ibadah yang diwajibkan kepadanya untuk dilaksanakan, atau tidak menerima dengan syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah (kufur nikmat). Dalam melakukan muamalah orang yang memiliki kepribadian kufur cenderung berlaku zhalim, mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan hak orang lain. Di samping kekufuran, kesalahan yang sangat fatal terhadap Allah Swt. adalah syirik.
Kemudian, pribadi yang tidak sehat terhadap Allah adalah pribadi yang tidak mampu memungsikan diri secara seimbang antara diri sebagai abidullah dan sebagai khalifah, baik hanya mengutamakan urusan keduniaan dan ibadah tertinggalkan, atau lebih mengutamakan ibadah dan urusan keduniaan tertinggalkan.
Konsep ini tidak diterangkan dalam konsep konseling.

E. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan yeng telah dikemukakan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut .
a. Konsep konseling tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an, secara umum relevan dengan konsep konseling, hanya istilah penamaan atau terminologi yang berbeda, namun maksudnya selaras.
b. Al Qur’an menerangkan bahwa manusia pada hakikatnya tidak hanya sebagai makhuk biologis, pribadi, dan sosial, tetapi juga sebagai makhluk religius. Begitu juga dengan pribadi sehat dan tidak sehat, tidak hanya mampu atau tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan, tetapi juga terhadap Alah Swt.
c. Satu hal yang berbeda secara mendasar, yaitu sifat pembawaan dasar manusia. Konsep konseling seperti yang dikemukakan oleh Freud menyatakan bahwa potensi dasar manusia yang merupakan sumber penentu kepribadian adalah insting. Sebaliknya, menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an bahwa potensi manusia yang paling mendasar adalah fitrah, yaitu nilai-nilai keimanan untuk beragama kepada agama Allah yang selalu menuntut untuk diaktualisasikan.
d. Menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an, manusia itu pada hakikatnya adalah makhluk yang utuh dan sempurna, yaitu sebagai makhuk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius (At Tin: 4). Manusia sebagai makhluk religius meliputi ketiga komponen lainnya, yaitu manusia sebagai makhluk biologis, pribadi dan sosial selalu terikat dengan nilai-nilai religius.
2. Saran
Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, konsep konsling tentang hakikat manusia, pribadi sehat dan pribadi tidak sehat berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an ini bukan merupakan konsep yang sudah lengkap dan final dan dapat mewakili nilai kandungan ayat-ayat Al Qur’an secara utuh, maka untuk melengkapi dan menyempurnakan kajian ini disarankan kepada peneliti lain untuk meneruskan menggali dan meneliti konsep konseling berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an ini, baik memperluas atau memperdalam kajian dalam topik yang sama, atau meneruskan kepada konsep-konsep konseling yang lain, seperti proses terapiotik atau aplikasi prosedur dan teknik konseling.

Konseling Psikologi Individual
Konseling Psikologi Individual (Alfred Adler)
• Hakekat Manusia
Adler berpendapat bahwa manusia pertama-tama dimotivasikan oleh dorongan-dorongan sosial. Menurut Adler manusia pada dasarnya adalah mahluk sosial. mereka menghubungkan dirinya dengan orang lain, ikut dalam kegiatan-kegiatan kerja sama sosial, menempatkan kesejahteraan sosial diatas kepentingan diri sendiri dan mengembangkan gaya hidup yang mengutamakan orientasi sosial. Calvin S. Hall dan Gardner dalam A. Supratiknya (1993:241)
Manusia tidak semata-mata bertujuan untuk memuaskan dorongan-dorongannya, tetapi secara jelas juga termotivasi untuk melaksanakan:
a. Tanggung jawab sosial
b. Pemenuhan kebutuhan untuk mencapai sesuatu.
• Perkembangan Kepribadian
•Struktur kepribadian
1)Dasar kepribadian terbentuk pada usia empat sampai dengan lima tahun.
2)Pada awalnya manusia dilahirkan Feeling Of Inferiority (FOI) yang selanjutnya menjadi dorongan bagi perjuangannya kearah Feeling Of Superiority (FOS).
3)Anak-anak menghadapi lingkungannya dengan kemampuan dasarnya dan menginterpretasikan lingkungan itu.
4)Dalam pada itu sosial interest-nya pun berkembang
5)Selanjutnya terbentuk Life Style (LS) yang unik untuk masing-masing individu (human individuality) yang bersifat :
(a)Self-deterministik.
(b)Teleologis.
(c)Holistik.
6)Sekali terbentuk Life Style (LS) sukar untuk berubah. Perubahan akan membawa kepedihan. Prayitno (1998:51).
•Kepribadian yang normal (sehat).
Freud memandang komponen kehidupan yang normal/sehat adalah kemampuan “mencintai dan berkarya”, namum bagi Adler masalah hidup selalu bersifat sosial. Fungsi hidup sehat bukan hanya mencintai dan berkarya, tetapi juga merasakan kebersamaan dengan orang lain dan memperdulikan kesejahteraan mereka. Motivasi dimotivasi oleh dorongan sosial, bukan dorongan seksual. Cara orang memuaskan kebutuhan seksual ditentukan dengan oleh gaya hidupnya.
Dorongan sosial adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir, meskipun kekhususan hubungan dengan orang dan pranata sosial ditentukan oleh pengalaman bergaul dengan masyarakat. Rincian pokok teori Adler mengenai kepribadian yang norma/sehat adalah sebagai berikut:
1)Satu-satunya kekuatan dinamik yang melatarbelakangi aktivitas manusia adalah perjuangan untuk sukses atau menjadi superior.
2)Persepsi subjektif individu membentuk tingkah laku dan kepribadian
3)Semua fenomena psikologis disatukan didalam diri individu dalam bentuk self.
4)Manfaat dari aktivitas manusiaharus dilihat dari sudut pandang interes sosial
5)Semua potensi manusia dikembangkan sesuai dengan gaya hidup dari self.
6)Gaya hidup dikembangkan melalui kreatif individu. Alwisol (2006:78)
•Kepribadian yang menyimpang (TLSS)
Sebab utama TLSS adalah perasaan FOI yang amat sangat yang ditimbulkan oleh:
1)Cacat mental atau fisik
2)Penganiayaan oleh orang tua
3)Penelantaran.
Apabila ketiga hal diatas dibesar-besarkan maka FOI akan semakin berkembang. TLSS adalah hasil dari pengaruh lingkungan, yang pada umumnya berawal dari tingkah laku orang tua sewaktu masih kanak-kanak. Apabila pada diri individu berkembang situasi tegang karena memuncaknya perasaan FOI, maka TLSS mulai berkembang:
2)Upaya mengejar superioritas yang berlebihan.
(a)terlalu keras, hingga menjadi kaku (rigid).
(b)Perfeksionistik tidak wajar.
3)Sosial interes terganggu.
(a)Hubungan sosial tidak mengenakkan.
(b)Mengisolasi diri (selfish). Prayitno (1998:52).
• Tujuan Konseling
Tujuan konseling adalah membantu klien menstrukturkan kembali masalahnya dan menyadari life style (LS) serta mengurangi penilaian yang bersifat negatif terhadap dirinya serta perasaan-perasaan inferioritasnya. Kemudian membantu dan dalam mengoreksi persepsinya terhadap lingkungan, agar klien bisa mengarahkan tingkah laku serta mengembangkan kembali minat sosialnya. Hal ini dilakukan bertujuan membentuk gaya hidupnya yang lebih efektif. Prayitno (1998:52).
• Proses dan Teknik Konseling
Proses konseling diarahkan oleh konselor untuk mendapatkan informasi-informasi berkaitan dengan masa sekarang dan masa lalu sejak klien berusia kanak-kanak. Mulai dari mengingat komponen-komponen dalam keluarga, keanehan-keanehan prilaku yang terjadi didalam keluarga, sampai hal yang spesifik. Hal ini sangat membantu konselor dalam menghimpun informasi serta menggali feeling of inferiority (FOI) klien..Teknik yang digunakan oleh konselor adalah membangun hubungan yang baik dengan klien. Prayitno (1998:52)
• Kharakteristik konselor
(a)Untuk itu diperlukan keterampilan berkomunikasi dengan baik
(b)3 M dan Objektif
• Contohnya
Klien yang mengalami kekurangan/kelebihan salah satu organ tubuh. Misalnya; jari tangan kanan berjumlah tujuh. Hal ini mengakibatkan klien merasa rendah diri, dan merasa dirinya aneh jika dibandingkan dengan teman-teman dilingkungannya.



MENDIDIK ANAK USIA REMAJA
(MENURUT TELADAN RASULULLAH SAW)
Lutfi Fauzan
Anak merupakan amanah Allah bagi orang tuanya, dengan tugas dan tanggung jawab yang dilekatkan untuk mengasuh dan mendidik mereka. Bagaimana orang tua menerapkan cara pengasuhan dan pendidikan menentukan akan menjadi bagaimanakah nantinya anak tersebut. Al-Quran menyebut adanya anak yang: (1) menjadi musuh (aduwwun) bagi orang tuanya; (2) anak yang menjadi fitnah (fitnatun) bagi orang tuanya; (3) sebagai hiasan atau kesenangan duniawi (zinatul hayatid dunya); (4) cindera mata hati (qurrata a’yun) karena ia merupakan ladang amal bagi orang tuanya.
Begitu besar peran orang tua untuk menyelamatkan ataupun menggelincirkan anaknya diisyaratkan dalam hadits Rasulullaw saw, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah (membawa benih iman), maka orang tuanyalah yang menjadikan mereka yahudi, nasrani, ataupun majusi” — Fithrah mengandung arti membawa benih iman diperkuat dengan hadits qudsi yang menyatakan, “dan sesungguhnya Aku ciptakan manusia itu semuanya dalam keadaan hanif (lurus, condong pada kebenaran).
Tugas Mendidik Anak
Menurut ilmu bahasa, pendidikan (tarbiyah) berasal dari kata rabba, artinya memperbaiki sesuatu dan meluruskannya. Kata rabbun sendiri dalam dalam kalimat Rabbul Alamin berarti Pencipta, Pendidik, Pengasuh, Pemelihara (Yang Memperbaiki). Pengarang tafsir Al Baidhawi dalam menafsirkan Ar-rabb merupakan masdar (sebut-an) yang bermakna tarbiyah, yaitu menyampaikan sesuatu sampai menuju titik kesempurnaan sedikit demi sedikit.”
Dari antara sejumlah simpulan pengertian tarbiyah menurut ulama yang dapat kita jumpai adalah:
1. Tarbiyah berarti menyampaikan sesuatu untuk mencapai kesempurnaan.
2. Tarbiyah adalah menentukan tujuan melalui persiapan sesuai batas kemampuan untuk mencapai kesempurnaan.
3. Tarbiyah adalah sesuatu yang dilakukan secara bertahap dan sedikit demi sedikit oleh seorang pendidik (murabbi).
4. Tarbiyah dilakukan secara berkesinambungan. Artinya tahapannya sejalan dengan kehidupan, tidak berhenti pada batas tertentu, terhitung dari buaian sam¬pai liang lahat.
5. Tarbiyah adalah tujuan terpenting dalam kehidupan, baik secara individu maupun keseluruhan.
Mendidik bukan hanya tugas kalangan ahli pendidikan (dalam pengertian guru atau ustadz), tetapi setiap kita adalah pendidik. Demikian itu karena Allah telah menempelkan bakat mendidik itu pada setiap orang, dan pendidikan merupakan bagian dari sifat Allah yang dipercikkan kepada manusia untuk dikembangkan dalam melaksanakan tugas kekhalifahannya, utamanya dalam mendidik putra dan putrinya. Allah menegaskan di dalam Al-Quran, yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jaga-peliharalah dirimu dan keluargamu dari kebinasaan (api neraka)…” (QS.66: 6). Selanjutnya dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullaw saw bersabda, yang artinya: “Urus dan lazimkan anak-anakmu dengan adab yang baik”. Pada hadits yang lain dinyatakan, “Tolonglah anak-anakmu untuk berbuat kebajikan” (H.R. Thabrani). Dan untuk memberikan semangat kepada orang tua dalam mendidik putra-putrunya, Rasulullah saw menegaskan, “Tidak ada pemberian orang tua yang lebih utama terhadap anak-anaknya daripada pendidikan yang baik”.
Sifat-Sifat Remaja
Mendidik anak, utamanya ketika memasuki masa remaja, yang merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan dewasa. Masa remaja yang ditandai dengan kematangan fisik dan seksual, perubahan naluri, pemikiran dan pola hubungan sosial, secara syar’i mereka telah mencapai usia bulugh (baligh). Masa tersebut dimulai pada usia 11 atau 12 untuk wanita, 13 sampai 15 untuk pria, dan biasanya diakhiri pada usia 21 atau 22 tahun. Pada masa ini anak memerlukan perhatian yang lebih serius. Hal ini disebabkan anak usia remaja yang mengalami berbagai perubahan dalam berbagai segi kepribadian-nya belum cukup memiliki pengalaman sekaligus sering diperlakukan secara mendua sehingga menimbulkan berbagai permasalahan bagi diri dan lingkungannya. Para orang tua dan pendidik hendaknya mampu memahami dan menyikapi perubahan tersebut Selain itu orang tua diharapkan mampu men¬ciptakan kiat (cara-cara) yang andal untuk menghadapi dan membantu mereka dalam mengatasi berbagai masalahnya sehingga di antara anak dengan orang tua tetap terjalin keserasian hubungan.
Tak jarang, ada juga orang tua dan pendidik yang kurang memahami gejolak jiwa anak-anak usia remaja. Misalnya saja, seorang ayah masih memperlakukan anak yang tengah remaja seperti halnya ketika anak itu masih kecil. Dia tidak memperhatikan perkem¬bangan-perkembangan baru yang sebenarnya membutuh¬kan kiat bergaul yang berbeda dengan masa kanak-kanak terakhir. Sikap dan pandangan semacam itu menimbulkan kesenjangan dan masalah antara orang tua dengan anaknya, dan keadaan seperti itu dapat terus berlangsung sampai anak itu mengin¬jak usia dewasa. Oleh karena itu penting bagi orang tua memahami sifat-sifat khas yang berkembang pada anak remajanya.
Sejumlah ciri sifat yang biasanya ada pada remaja antara lain: kecanggungan dalam pergaulan; kelebihan emosi; berubahnya beberapa pandangan hidup; muncul sikap kritis dan suka menentang; ingin mencoba-coba; tingginya minat kelompok; dan banyak dipengaruhi model identifikasi (tokoh untuk ditiru).
Dalam keadaan seperti itu remaja dituntut untuk mampu menyelesaikan tugas-tugas kehidupan sesuai tingkat perkembangannya, antara lain: menerima keadaan fisik dan peran seksual dan sosialnya; mencapai kebebasan emosional dan ekonomi; mengembangkan keterampilan baru bagi persiapan kerja dan berperilaku sebagai warga negara yang dapat diterima; menentukan nilai-nilai yang dianut dengan kesadaran; dan mempersiapkan diri untuk kehidupan berkeluarga.
Bagaimana Rasulullah saw Menghadapi Remaja
Ciri perkembangan sekaligus permasalahan yang sering muncul pada remaja adalah berkenaan dengan perkembangan seksualnya. Perkembangan seksual seorang anak biasanya bersamaan dengan perkembangan organ-organ seksual dan jaringan saraf yang sangat penting dalam perkem¬bangan rasionya. Perubahan-perubahan tersebut disertai dengan gejala-gejala khusus dalam tingkah laku yang menuntut perhatian dan pengawasan. Seorang pemuda mulai menginjak jenjang kelaki-lakian dan seorang pemudi mulai menginjak jenjang kewanitaan dengan daya tarik dan misteri-misteri yang mengun¬dang kebingungan dan kegelisahaan.
Abi Umamah, dalam hadits riwayat Ahmad, mengisah¬kan bahwa seorang pemuda telah datang menghadap Nabi saw. seraya berkata, “Wahai Rasulullah, izinkanlah aku berzina.” Orang-orang yang ada di sekitarnya menghampiri dan memaki, “Celaka engkau, celaka engkau!” Rasulullah saw. mendekati pemuda itu dan duduk di sampingnya: Kemudian terjadilah tanya jawab (dialog) yang panjang antara Rasulullah saw. dengan pemuda itu:
Nabi saw: “Apakah engkau ingin hal itu (zina) ter¬jadi pada ibumu?”
Pemuda : “Sekali-sekali tidak. Demi Allah yang menjadikanku sebagai tebusan Tuan.”
Nabi saw: “Begitu pula orang lain, tidak ingin hal itu terjadi pada ibu mereka. Apakah engkau ingin hal itu terjadi pada saudara perempuanmu?”
Pemuda : “Sekali-sekali tidak. Demi Allah yang menjadikanku sebagai tebusan Tuan.”
Nabi saw: “Begitu pula orang lain, tidak ingin hal ini terjadi pada saudari-saudari mereka. Apakah engkau ingin hal ini terjadi pada saudara perempuan bapakmu?”
Pemuda : “Sekali-sekali tidak. Demi Allah yang menjadikanku sebagai tebusan Tuan.”
Nabi saw: “Begitu pula orang lain, tidak ingin hal itu terjadi pada sudara perempuan bapak mereka. Apakah engkau ingin hal itu ter¬jadi pada saudara perempuan ibumu?”
Pemuda : “Sekali-sekali tidak. Demi Allah yang menjadikanku sebagai tebusan Tuan.”
Nabi saw: “Begitu pula orang lain, tidak ingin hal itu terjadi pada saudara perempuan dari ibu mereka.”
Kemudian Nabi saw. memegang dada pemuda itu seraya berdoa, “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan peliharalah kemaluannya!” Setelah peristiwa itu, pemuda tadi menjadi orang yang arif.
Beberapa nilai pendidikan yang terdapat pada peristiwa tersebut:
1. Rasulullah saw. Sangat memahami kejiwaan pemuda tersebut. Beliau tidak marah, bahkan memintanya untuk duduk didekatnya. Pengaruhnya sang pemuda merasa dihargai.
2. Rasulullah saw. menggunakan cara dialog, bertanya jawab secara bijak karena melalui cara tersebut anak dapat melontarkan pendapat kepada pendidiknya. Dan koreksi atas suatu pandangan dapat diberikan.
3. Masalah yang beliau tanyajawabkan berkisar pada masalah yang sedang dihadapi si pemuda tadi dan tidak keluar dari inti permasalahan atau tidak memecahkan konsen-trasi pemuda tadi dengan masalah-masalah yang lain.
4. Tanya jawab yang dilakukan Rasulullah saw merupakan cara yang paling cemerlang karena jawaban akan langsung keluar dari anak itu sendiri. Ketika Rasulullah saw. bertanya “apakah engkau suka bila zina dilakukan pada ibumu?” jawaban sang pemuda merupakan dalil pela¬rangan zina untuk dirinya sendiri. Selain itu, jawaban “sekali-kali tidak, demi Allah yang menjadikan saya se¬bagai tebusan Tuan,” merupakan pengakuan atas kesa¬lahan yang paling gamblang. Secara rinci, manfaat yang dapat kita ambil adalah:
a.Terjadinya interaksi esensial antara seorang anak didik dengan pendidiknya.
b. Pikiran anak didik akan terfokus dan terpusat pada pertanyaan yang dilontarkan.
c. ]awaban yang menggunakan kalimat negatif me¬rupakan metode pendidikan yang ilmiah dan realistis serta menjadi hujjah atas pelanggaran terhadap per¬buatan tertentu, baik secara kemasyarakatan maupun kemanusiaan.
5. Jumlah pertanyaan Rasulullah saw. yang banyak dapat menjadi dalil keyakinan yang menunjuk¬kan keingkaran pemuda itu terhadap perbuatan zina. Banyaknya dalil merupakan salah satu kiat pendidik¬an yang memperkuat hujjah dan alasan.
6. Di antara kiat penyembuhan yang digunakan Rasulul¬lah saw. adalah meletakkan tangannya yang mulia di dada orang yang mendapat masalah. Ketika beliau mele-takkan tangannya di dada pemuda tadi, dia pasti akan merasakan ketenteraman serta ketenangan jiwa. Sebab, ketika itu beliau mendoakan si pemuda dengan inti doa yang mencakup pengampunan dosa, penyucian hati, dan pemeliharaan kemaluan. Bercermin dari itu, tampaknya orang tua wajib menjadikan doa sebagai salah satu sarana penyembuh penyakit hati anak¬nya. Rasulullah saw. telah bersabda, “Ibadah yang paling utama adalah doa.” (Shahih al ]ami’ Ash Shaghir, hadits no. 1108). Dan Firman Allah, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan kuperkenankan doa¬mu.” (QS76:
Setelah peristiwa itu, tidak lagi tersirat dalam benak pemuda tadi untuk berzina. Tidak diragukan lagi, dia akan mendayagunakan pikiran dan potensinya untuk hal yang membuahkan hasil dan memberikan manfaat bagi diri dan masyarakatnya, seperti menyibukkan diri dalam belajar, jihad, atau aktivitas lain yang membantu perkembangan sosial, ekonomi, dan politik. Potensi ter¬sebut merupakan modal besar yang dapat diharapkan hasilnya.
Belajar dari i’tibar di atas Najib Khalid Al’Amir dalam bukunya “Tarbiyah Rasulullaw” menyarankan agar orang tua dan pendidik mengambil sikap terhadap anak-anak mereka yang sedang remaja, seperti tertera berikut ini:
1. Mengetahui secara optimal perubahan-perubahan yang terjadi pada anak-anak mereka yang sedang remaja de¬ngan melakukan pengamatan yang jeli.
2. Mengarahkan mereka (anak-anak) untuk selalu pergi ke masjid sejak kecil sehingga memiliki disiplin naluriah dan andil yang potensial dalam lingkungan rabbaniah. Jika dia seorang pemuda, anjurkan untuk membiasakan shalat berjamaah dan membaca A1 Qur’an.
3. Membuka dialog dan menyadarkan mereka akan status sosial mereka.
4. Menanamkan rasa percaya diri pada diri mereka dan siap mendengarkan pendapat-pendapat mereka.
5. Menyarankan agar menjalin persahabatan dengan teman¬teman yang baik. Sikap tersebut dapat menjadi perisai positif dan menjauhkan mereka dari perbuatan-per-buatan nista.
6. Mengembangkan potensi mereka di semua bidang yang bermanfaat.
7. Menganjurkan kepada mereka untuk berpuasa sunah karena hal itu dapat menjadi perisai dari kebobrokan moral.
Ulama yang lain, Abdullah Nashih Ulwan mengajukan dua pedoman pokok untuk mendidik anak, yaitu pedoman mengikat dan pengawasan. Anak perlu diikat dengan aqidah, ibadah (wajib dan sunnah), pola pemikiran yang islami, nilai dan peran kemasyarakatan (pergaulan dengan akhlaq terpuji), dan dorongan pengembangan bakat serta potensi pribadi. Adapun pengawasan merupakan sikap kewaspadaan orang tua dalam mengamati setiap perkembangan anak-anaknya. Orang tua perlu mengawasi anaknya agar tetap berada pada jalur yang benar, tidak melakukan penyimpangan baik dalam hal makanan, pakaian, pergaulan, pola pemikiran, pengembangan kebiasaan, tradisi, dan amal ibadah pada umumnya.
Sejumlah saran yang beliau ajukan dalam upaya mendidik anak dan remaja antara lain:
• Menanamkan kerinduan pada usaha yang mulia
• Menyalurkan bakat fitri anak
• Menjalin hubungan yang baik anatara rumah, masjid, dan sekolah
• Memperkuat hubungan orang tua, pendidik, dan anak
• Menerapkan aturan secara ajeg
• Menanamkan kecintaan anak pada belajar
• Menyediakan sarana pembudayaan yang bermanfaat
• Menanamkan tanggung jawab keislaman
• Memperdalam semangat jihad
Adapun nasihat yang mengandung nilai-nilai islami yang dituturkan dalam bentuk tembang macapat antara lain dalam bentuk tembang Asmaradana dan Pangkur berikut ini:
Pada netepana ugi
Kabeh parentahing syara’
Terusna lahir batine
Shalat limang wektu uga
Tan kena tininggala
Sapa ninggal dadi gabug
Yen misih demen ning praja
Aja nedya katempelan
Ing wawatek kang tan pantes ing budi
Watek rusuh nora urus
Tunggal klawan manungsa
Dipun sami karya labuhan kang patut
Darapon dadi tulada
Tinuta ing wuri-wuri
Kesemua pandangan, pengajuan pengertian, saran dan nasihat yang diajukan dimuka pada akhirnya mengarah pada tujuan utama pembinaan anak adalah mencapai keridhaan Allah SWT. Jalan yang ditempuh adalah dengan menjadikan anak terikat kepada Al-Quran sehingga mendapatkan karunia hikmah, tumbuh belas kasihan yang mendalam, menjaga kesucian diri, bertaqwa, berbakti kepada kedua orang tua, tidak memiliki sifat sombong dan tidak termasuk orang yang durhaka, sehingga selamat dan kesejahteraan dilimpahkan kepadanya: dari lahir, mati, dan dibangkitkan kembali (QS.19: 12-15). Wallahu a’lamu bishshawab.
Tinggalkan sebuah Komentar
Ditulis dalam jaddidu imanakum
Oleh: lutfifauzan | September 19, 2009
Khutbah Idul Fithri 1430 di Halaman SMA 9 Malang
Khutbah Idul Fithri 1430
MENDEKATKAN TALI HUBUNG KEPADA ALLAH DAN SESAMA:
DARI TITISAN CINTANYA TILASKAN KASIH SAYANG KEPADA SESAMA
Yasa BDY
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
إِنَّ اْلحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شرَيِكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً
أَلاَ وَإِنَّ أَصْدَقَ اْلكَلاَمِ كَلاَمُ اللهِ تَعَالىَ وَخَيْرَ اْلهُدَي هُدَي مُحَمَّدٍ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فيِ النَارِ
اَللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ
dst …. اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا
Ma’asyiral Muslimin-muslimat rha,
Senja Satu syawal hadir beranjangsana, hadir iring-gantikan kepergian Ramadhan yang agung nan mulya – kala sang surya kembali ke peraduannya, Syahdu-pilu berbaur haru suasana hantarkan kepergian Ramadhan sambut membahana alunan merdu gema takbir, tahlil dan tahmid di sudut-sudut ruas semesta, membawa berita gembira merentang-tabur bulir-bulir harapan mulya akan kemenangan kaum beriman menempuh pendakian thariqah ilahiyah dengan berpuasa sebulan penuh untuk pantas mendapatkan hadiyah agung berupa kembalinya fithrah mahkota kehidupan insani.
Fajar menyingsing segarkan suasana, bahagianya makhluq semesta, dalam kepatuhan bersahaja menyaksikan kaum beriman bertandang kepada Rabbnya dengan penuh haru dan tawadhu siap menunaikan shalat Id di tanah-tanah lapang dan masjid-masjid yang dimulyakan. Bibir mereka bergetar-basah karena ucapan takbir, hati bersinar karena celupan Asma Indah-Nya, jiwa dan raganya bergetar, benihkan kesadaran terang betapa Maha Agungnya Allah Penguasa jagad raya, betapa luas dan dalam kasih sayang-Nya di hamparan permadani kehidupan insan; hamba-hamba berdosa diampuni-Nya dengan sentuhan-sentuhan lembut menggugah kesadaran hati, hamba-hamba yang ikhlas didekatkan dalam dekapan hangat dibuai lena dengan kasih-Sayang-Nya.
فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya. (Q.S. 79:40-41)
اَللهُ اَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
Pada tempat yang berbeda di sudut kehidupan, mereka yang tidak pernah mau bangkit dari kesadaran akan dirinya, tiada hirau terhadap perintah-panggilan Rabbnya, mabuk berbangga ria dengan kemegahan dosa-dosanya, tertipu oleh pemanis buatan dari lezatnya pesona dunia, terlena-buai dalam lembah kemaksyiatan, adzab yang besar sambut gembira menanti keha-dirannya. Malang nian manusia yang selalu dialpakan dan dilengah-lalaikan terhadap penyucian dirinya, sehingga ia tidak sadar, api Neraka yang berkobar menyala-nyala, siap menyantapnya, dengan keganasan akan melalap habis tubuh yang tak berdaya bagaikan batang-batang kering lenyap seketika, sehingga keluarlah rintihan tajam memilukan, Yaa laitanii kuntum turaaba, (Duhai Tuhanku, alangkah baiknya kalau dulu aku sebagai seonggok tanah saja), sebuah ungkapan penyesalan yang tidak berarti-guna di kenistaan siksa api neraka yang laa yamuutu wa laa yahya, tiadalah ia dapat dikatakan mati tidak juga dikatakan hidup.
اَللهُ اَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
Jamaah Shalat Id yang berbahagia
Makna apa yang telah dapat kita tangkap di balik perintah berpuasa ketika Dia menegaskan dalam firman-Nya pada satu Hadits Qudsi:
“Setiap amalan bani Adam adalah baginya kecuali shiam, shiam itu adalah untuk-Ku, dan biarlah hanya Aku yang membalasnya”
Tiadakah tertangkap di jantung hati kita suatu isyarat nyata bahwa Dia mengasihi hambanya lebih dari siapapun yang dapat menunjukkan kasihnya tanpa pamrih, dan betapa agung kehendak-Nya agar sang hamba senantiasa dekat-berakrab dengan-Nya menjadi keluarga-Nya (Ahlullah). Nyata terasa bahwa Dia tak menghendaki ada lagi penyekat di antara hamba dan Pencipta, karena dekatnya Dia memang lebih dekat dari urat leher kita. Dia yang dekat itu di setiap keadaan bahkan di setiap desah nafas kehidupan selalu menun-jukkan tanda-tanda kebesaran kasih sayang-Nya kepada hamba melalui pemberian-pemberian indah di kesempatan berahasia suasana, melalui puasa yang merupakan ibadah bersifat rahasia, diikuti dengan shalat malamnya di keheningan sunyi berbisik lirih suara hati mendayu-rayu, berharap cemas agar dapat beradu mesra memadu rindu antara hamba dengan Pencipta.
 … 
…dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.
Adanya pernyataan dan pembuktian uluran kasih sayang niscaya meng-hembuskan rasa ketenangan dan melahirkan cinta kasih ke dalam jiwa. Dampaknya jiwa yang merdeka berhias indah dengan cinta kepada-Nya
     …
Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.
Dari dua keadaan yang harmoni itu, tak pelak berlangsunglah suasana cinta berbalas cinta antara hamba dan Pencipta, benang-benang rindu di kelembutan hati merekat-erat dalam sentuhan cinta kasih-Nya. Suasana mahligai indah yang menjadi dambaan setiap hamba perindu akan hidup bermandikan percikan-percikan kilau cahaya indah dalam rengkuhan kasih sayang-Nya.
اَللهُ اَكْبَرُ x3 وَللهِ الْحَمْدُ
Dalam salah satu hadits shahih disebutkan bahwa seorang ibu kehilangan bayinya. Dia mencari-carinya, lalu menemukannya dalam kondisi memilukan. Dia segera mengambil, mendekap, lalu menyusuinya. Melihat hal itu, Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat, “Menurut kalian, apakah ibu itu mau melemparkan anaknya ke dalam api? Mampukah dia melakukan itu?” Para sahabat menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.” Rasulullah saw bersabda, “Demi Allah, kasih sayang Allah kepada hamba-Nya melebihi kasih sayang ibu itu kepada anaknya.”
Jamaah Shalat Id rha,
Rahmat Allah swt yang tiada batas adalah dasar penama¬an rahim, tempat janin bersemayam di perut ibu. Di tempat itu, janin memperoleh rezeki, tumbuh dan berkembang tanpa harus merasakan kesusahan atau kesulitan. Sang janin tumbuh dalam ketaatpatuhan sunnatullah tak hendak membantah dalam keadaan apapun, tak hendak memilih di rahim mana ia akan diletakkan. Kepasrahan total menghadirkan iba-kasih dari Sang Kuasa Pencipta dirinya, terpenuhilah segala kebutuhan tanpa harus berupaya. Setiap kali kita merenungi sosok ibu yang welas asih, lembut, memberi apa saja kepada anak-anaknya tanpa mengharapkan balas jasa, dan selalu menerima anaknya yang kembali bagaimanapun keadaannya, kita pun teringat Allah swt. Allah-lah Dzat Yang Maha Pengasih, Maha Lembut, Maha Pemberi tanpa batas tanpa harapan balas jasa, dan Dia Maha Penerima Tobat yang selalu membuka pintu pengampunan kepada hamba-hamba-Nya yang hendak kembali kepada-Nya, betapapun besar dan banyak kesalahan yang telah mereka lakukan. Allah tak hendak membiarkan hamba-Nya hina-sengsara dalam jeratan dosa, tegur-sapa dengan berbagai wujud peringatan senantiasa diberikan-Nya agar tergugahlah kesadaran yang sedang terbenam dalam lumpur dosa; itu bukanlah pertanda mutlak murka, di situlah tersimpan rahasia kasih-Nya, hingga diharapkan sang hamba saat kembali menghadap-Nya sebagaimana mula dicipta hanya bersandangkan fithrah.
Sebesar keinginan Allah swt untuk menyifati diri-Nya sebagai Sang Peng-asih, sebesar itu pula keinginan-Nya untuk melihat tilas-tilas kasih sayang-Nya pada diri hamba-hamba¬Nya. Renungilah kisah Adam as yang melanggar aturan Allah sehingga Allah berfirman kepadanya, “Keluarlah kalian dari surga.” Sebuah hadits Qudsi menerangkan bahwa Allah langsung memanggil Adam as, dan berfirman, “Wahai Adam, janganlah engkau bersedih hati atas kalam-Ku itu. Sebab, Aku menciptakan surga ini hanya untukmu. Namun begitu, sekarang, turunlah engkau ke bumi dan rendahkanlah dirimu kepada-Ku. Tenangkan dirimu dalam cinta kepada-Ku. Nanti, pada saat kerinduanmu kepada diri-Ku dan kepada surga semakin dalam, datanglah kembali. Aku akan memasukkanmu ke dalamnya sekali lagi.”
Kemudian, Allah swt bertanya kepada Adam, “Wahai Adam, apakah engkau berharap Aku membuatmu takkan melakukan kesalahan lagi?” Adam menjawab, “Ya, wahai Rabb.” Rabb berfirman, “Wahai Adam, jika Aku membuatmu dan anak cucumu tidak melakukan kesalahan, lalu kepada siapa Aku mencurahkan kasih sayang, kemurahan, kelembutan, dan pengampunan-Ku?”
Inilah maksud Allah, jika Dia mencurahkan rahmat, kasih sayang, kepemurahan, kelembutan, dan pengampunan kepada hamba-Nya yang melakukan kesalahan, apatah lagi kepada hamba-Nya yang berusaha tidak bermaksiat kepada-Nya dan selalu taat kepadanya. Ya, kesalahan yang menuntunkan kesa-daran bersalah merupakan pancingan turunnya belas kasih sayang Allah kepada seorang hamba. Sedangkan bagi hamba yang berjaga diri dari kesalahan dan maksyiat kepada-Nya, kehati-hatiannya itu menjadi wujud keterlenaan sang hamba dalam buaian kasih-sayang-Nya.
اَللهُ اَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
Saya yakin, kita sedang dilimpahi perasaan yang indah saat kita terdorong untuk berlindung kepada Allah swt, meminta ridha-Nya, dan mencintai-Nya dengan melakukan pelbagai amalan yang membuktikan kepatuhan kita kepada-Nya sekuat tenaga kita, khususnya selama bulan Ramadhan dengan berbagai rangkaian amal ibadah di dalamnya. Namun, saya yakin, jauh lebih indah, lebih agung, dan lebih luhur perasaan yang membaluri kita tatkala kita mengetahui, bahkan meyakini, bahwa Allah swt, Dzat Yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa itu, sejatinya menjanjikan kasih sayang kepada hamba-Nya yang patuh maupun yang ingkar.
Sejenak marilah kita menyimak Atsar berikut ini supaya kita mengetahui betapa besarnya kasih sayang Allah:
“Aku-Allah, manusia dan jin terlibat dalam satu kisah yang mencengangkan. Aku yang menciptakan, namun bukan Aku yang disembah. Aku yang memberi rezeki, namun bukan Aku yang disyukuri. Aku terus menurunkan kebaikan, namun mereka terus meningkatkan kedurhakaan. Aku terus mencurahkan kasih sayang dan tidak mengharapkan balasan, namun mereka terus menantang dengan berbagai kemaksiatan, padahal mereka sangat membutuhkan-Ku. Wahai orang-orang yang mengingat-Ku dan senantiasa beribadah kepada-Ku, barangsiapa ingin duduk bersama-Ku, maka ingatlah kepada-Ku wahai orang-orang yang taat kepada-Ku dan mencintai-Ku.
Wahai orang¬orang yang melanggar perintah-Ku, sungguh, Aku takkan membuatmu putus asa atas kasih sayang-Ku. Jika mereka bertobat kepada-Ku, maka Aku akan menjadi kekasih mereka. Namun jika mereka enggan, maka Aku akan menjadi dokter mereka. Aku menguji mereka dengan musibah untuk menyucikan mereka dari cela dan aib. Satu kebaikan kubalas dengan sepuluh kebaikan, atau Aku akan menambahnya. Sedangkan satu kejelekan kubalas tetap sebagai satu kejelekan, atau Aku akan memaafkannya. Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, seandainya mereka me¬minta ampunan kepada-Ku atas segala dosa, maka Aku akan mengampuninya. Barangsiapa mendatangi-Ku dengan bertobat maka Aku sudah bergegas untuk menyambutnya dari jauh. Barangsiapa berpaling dari-Ku, maka Aku akan memanggil-Nya dari dekat – Aku akan berkata kepadanya: Hendak ke mana engkau pergi? Apakah engkau mempunyai Tuhan selain Aku?”
اَللهُ اَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
Jamaah Shalat Id rha,
Sadarkah kita, Allah swt yang Maha Suci, Maha Agung, dan Maha Mulia akan menjawab dan menyambut seruan hamba yang memanggil-Nya, meskipun dia pelaku maksiat, pendosa, baru kembali dari kesalahan, dan mengetuk pintu rumah-Nya dengan cara yang salah?!
Salah seorang Tabiin mengisahkan ada seorang musyrik biasa memuja patungnya dengan berkata, “Tuan … Tuan.” Pada suatu hari dia melakukan kesalahan dengan berkata, “Tuhan … Tuhan.” Mendengar ucapannya, Allah swt yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dengan segala kemuliaan-Nya menjawab, “Ada apa hamba-Ku … ada apa hamba-Ku.”
Jika Allah swt mencurahkan perasaan rindu dan cinta yang sangat men-dalam kepada hamba, padahal Dia adalah Pencipta yang tidak membutuhkan siapapun namun dibutuhkan oleh siapapun, maka sudah seharusnya sang hamba, makhluq yang sangat membutuhkan Allah, selalu mencurahkan dan mengem-bangkan kerinduannya kepada Rabbnya.
Perlu kita sadari bila Rabb Maha Pencipta sedang menjatuhkan cinta-Nya pada hamba yang dikasihi-Nya maka dengan tersenyum la Allah akan berikan bala-coba kepada sang hamba. Tanpa disadari bala-coba mulai dirasa mendera jiwa, merintihlah jiwa di kedalaman hati himbau-mengharap me-manggil Nama-Nya, disinilah awal terjadinya keterikatan dan keterpikatan hati sang hamba pada kebaikan kasih sayang Allah. Jangan kiranya bala-coba dari-Nya dijadikan hujjah untuk lari dari-Nya dan berprasangka buruk kepada-Nya justru sebaliknya akan menggugah diri semakin dekat dengan-Nya. Sekalipun bala-coba itu acap kali menggoncangkan hati dalam waktu lama sehingga dirasa hampir-hampir kesabaran hilang darinya, namun ketahuilah dan yakinilah di balik semua bala-coba tersimpan indah butiran rahmat bagaikan rangkaian mutiara yang siap dikalungkan di leher yang terkasih. Diriwayatkan: Allah telah menurunkan wahyu kepada salah seorang Nabi, Aku telah menurunkan bala (ujian) kepada seorang hamba maka ia berdoa dan tetap Aku tunda permintaannya, akhirnya ia mengeluh maka Aku berkata kepadanya: “Hai hamba-Ku bagaimana Aku akan melepaskan darimu rahmat sedangkan dalam bala-coba itu mengandung rahmat-Ku. Ya bala-coba merupakan sutera pembungkus indahnya rahmat. Ingatlah apa yang diperbuat Allah kepada Ibunda Musa as, ketika diilhamkan untuk membuang fithrah jabang bayi ketengah sungai
                 
Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang beriman (yaqin kepada janji Allah) (QS.28:10)
Bukankah berbukti nyata jalan yang sekilas mencemaskan itu adalah jalan penyelematan dan rahmat kasih sayang yang tiada terhingga.
                
                
Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya (QS.28:13)
Dari pelajaran tertuang, maka tanamkanlah keyaqinan bahwa Allah tak hendak memutus rahmat kasih sayang bagi hamba yang menginginkan-Nya. Dengan kucuran rahmat itu kiranya berbias pada merebaknya kasih sayang kepada sesama. Allah telah berbuat baik kepada kita, diharapkan hamba meniru berbuat baik pula kepada sesama.
     •            …
… dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS.28:77)
Jangan pandang betapa kecil kebaikan itu dan tak diketahui pasti hasilnya. Rasulullah saw pernah bersabda: “Selamatkanlah dirimu dari api neraka meskipun dengan sebiji kurma”. Pada sabdanya yang lain: “Kalaupun kamu menyaksikan hari kiamat telah tiba, sedangkan di tanganmu masih tergenggam sebatang tangkai pohon dan kamu masih sempat menancapkannya ke bumi maka tanamlah ia, karena ia menjadi amal bagimu” (Al-Hadits).
Dan untuk mengakhiri khutbah, marilah kita hadapkan wajah, tundukkan hati dan mengemis menadahkan tangan bermunajad ke haribaan-Nya:
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْراَهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ وَبَارِكْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعلَىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْد ٌمَجِيْدٌ
اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنينَ وَالْمُؤْ مِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالاَمْوَاتِ ِانَّكَ سمِيْعٌ قَرِيْبٌ
مجُيْبُ الدَّعَوَاتِ يَا قَا ضِىَ الحْاَجَاتِ وَيَا كَافيَ الْمُهِمَّاتِ بِرَحْمَتِكَ يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
Ya Allah ya Rabb kami, bila tidak karena apa yang tidak kami ketahui tentang urusan kami, tentulah kami tidak mengeluh atas segala kehinaan kami.
Bila tidak karena dosa-dosa kami,
tentulah tidak kami tumpahkan segala air mata kami.
Ya Allah ya Rabb kami, dosa-dosa kami telah memenuhi sempadan-sempadan langit
dan memberatkan bumi.
Betapa banyak rahmat karunia dan kesempatan yang telah Kau curahkan kepada kami, hanya kami sajalah yang senantiasa lengah dan tak pandai bersyukur.
Tiada bisa lagi kami beralasan,
sebab, telah putus segala jalan untuk beralasan.
Kami akui segala dosa kami, ampunilah dosa-dosa kami yang banyak itu,
dengan amalan-amalan kebajikan kami yang sedikit.
Rabb, bila amat kecil ta’at kami,
maka pengharapan kami atas rahmatMu amatlah besar.
Bagaimana kami bisa kembali dengan rasa kecewa tidak mendapatkan anugerah-Mu sedangkan kami masih berharap atas kemurahan-Mu.
Rabb, bila dosa-dosa kami mengecilkan harapan atas kemurahan-Mu,
besarnya keyakinan kami terhadap kemurah¬an-Mu lah yang membesarkan hati kami. Kami masih berbaik sangka dan penuh harap atas kemurahan-Mu.
Kami bukanlah mereka yang berputus asa untuk mendapatkan rahmat-Mu. Karena itu, janganlah Engkau kecewa¬kan kami.
Ilahi
Kami adalah manusia yang sangat membutuhkan akan kasih sayang-Mu
Jadikanlah kami manusia yang selalu ingat akan hal itu, dan menjadi aqidah bagi kami,
Sehingga disaat apapun kami selalu mengingat-Mu, memanjatkan do’a pada-Mu, dan bersikap ta’at menuju-Mu.
Ilahi
Pandanglah kami
Dengan pandangan kasih-Mu
Karena dengan pandangan itu
Kami yang berlumuran dosa akan mendapat pengampunan-Mu lewat kasih sayang.
Jauhkanlah azab kesengsaraan dalam hidup kami
Kalaulah itu tetap harus berlaku dengan lantaran takdirMu, jadikanlah kami manusia-manusia yang sabar menghadapinya hingga bertemu denganMu.
Ilahi
Jadikanlah keluarga dan keturunan kami
Keluarga dan keturunan yang selalu beribadah dan mengabdi kepadaMu
Jauhkanlah kami dari perbudakan diantara keluarga kami
Manakala kami seorang ayah, jadikanlah ayah yang sanggup menjadi imam diantara orang-orang taqwa di keluarga kami.
Manakala kami seorang Ibu, jadikanlah ibu diantara anak-anak kami sebagai tempat tumpuan belai kasih sayang keluarga kami.
Manakala kami sebagai anak, jadikanlah kami anak yang berbakti pada orangtua kami.
اَلَّلهُمَّ أَعِنَّا عَلىَ ذِكْرِكَ وَ شُكْرِكَ وَ حُسْنِ عِبَادَتِكَ
اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَ قِيَامَنَا وَ قِرَاءَتَنَا وَ زَكَاتَنَا وَ عِبَادَتَنَا كُلَّهاَ . اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ يَا كَرِيْمُ
وَ تُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ.
رَبَّنَا آتِنَا فيِ الدُنْيَا حَسَنَةً وَ فِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قَنَا عَذاَبَ النَارِ
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ اْلعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى اْلمُرْسَلِيْنَ وَاْلحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ .
والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Catatan: Mohon maaf kutipan ayatnya tidak bisa tampil karena tersimpan dalam file gambar, sedangkan saya belum terampil bagaimana cara menyisipkannya. Harap pengguna yang budiman berkenan menyempurnakannya sendiri. Demikian halnya untuk merapikan tampilan tulisanannya. (LF)
Tinggalkan sebuah Komentar
Ditulis dalam jaddidu imanakum
Oleh: lutfifauzan | Agustus 10, 2009
Pelatihan Motivasi
Sampel Training Motivasi Menghadapi UNAS
& Komentar
Ditulis dalam Pelatihan
Oleh: lutfifauzan | Agustus 9, 2009
Kontrak Perilaku
Memberdayakan Behavior Contracts untuk Melesatkan Perkembangan Pribadi
Lutfi Fauzan
Bertanyalah kepada setiap pelajar-mahasiswa mengenai nilai belajar tertib dan disiplin, jawabannya sama “itu penting dan bagus”, tetapi apakah mereka telah mewujudkan kebiasaan belajar tertib dan disiplin? Bertanyalah kepada setiap perokok berkenaan dengan pengaruhnya terhadap kesehatan, jawabannya hampir seragam “itu buruk bagi kesehatan”, tetapi apakah mereka dengan mudah bisa meninggalkan kebiasaan merokoknya. Berkali-kali mencoba, namun selalu gagal maning, gagal maning. Seorang mahasiswa juga merasa hampir kehilangan kepercayaan terhadap dirinya karena dia merasa punya keinginan mengubah diri, lebih tertib kuliah (pada saat konsultasi sudah semester 12) tetapi selalu berhenti di tengah jalan. Pada awal semester dapat tertib mengikuti kuliah, namun mulai masuk pertengahan, caapek deech…, selalu tergoda dengan kegiatan-kegiatan lain dan pada akhirnya tidak masuk kuliah sama sekali. Demikian berulang selama beberapa semester. Mahasiswa tersebut mengalami masalah disiplin diri (self-discipline). Kemauannya untuk mendisiplinkan diri rendah, dan ini dapat dibantu dengan kontrak perilaku.
Kontrak perilaku (behavior contracts) adalah perjanjian dua orang ataupun lebih untuk berperilaku dengan cara tertentu dan untuk menerima hadiah bagi perilaku itu. Kontrak ini menegaskan harapan dan tanggung jawab yang harus dipenuhi dan konsekuensinya. Kontrak dapat menjadi alat pengatur pertukaran reinforcement positif antarindividu yang terlibat. Strukturnya merinci siapa yang harus melakukan, apa yang dilakukan, kepada siapa dan dalam kondisi bagaimana hal itu dilakukan, serta dalam kondisi bagaimana dibatalkan.
Asumsi dasar pada kontrak perilaku:
Ada empat asumsi dasar bagi pemberdayaan kontrak untuk pengembangan pribadi: (1) Menerima reinforcement adalah hal istimewa dalam bubungan interpersonal, dalam arti, seseorang mendapat kenikmatan atas persetujuan orang lain. (2) Perjanjian bubungan interpersonal yang efektif diatur oleh norma saling membalas. Ini berarti setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk membalas hadiah. (3) Nilai pertukaran interpersonal merupakan fungsi langsung dari kecepatan, rentangan, dan besaran reinforcement positif yang diperantarai oleh pertukaran itu. Memaksimalkan pemberian reinforcement positif memungkinkan untuk memperoleh reinforcement yang lebih besar. (4) Aturan-aturan tetap memberikan kebebasan dalam pertukaran interpersonal. Meskipun aturan (dalam kontrak) membatasi perilaku, tetapi tetap memberikan kebebasan pada individu untuk mengambil keuntungan.
Pada aplikasinya dalam dunia helping syarat-syarat dalam memantapkan kontrak perilaku adalah: adanya batasan yang cermat mengenai masalah klien, situasi dimana masalah itu muncul, dan kesediaan klien untuk mencoba suatu prosedur. Selain itu tugas yang harus mereka lakukan perlu dirinci, dank kriteria sukses disebutkan serta reinforcement-nya ditentukan. Kalau semua itu ada, kontrak akan dapat dimantapkan melalui reinforcement yang cukup dekat dengan tugas dan kriterium yang diharapkan.
Self-contract
Apakah kontrak perilaku hanya dapat dimanfaatkan dalam hubungan helping yang melibatkan interaksi helper dan helpee, konselor-konseli, psikolog-konsulti, psikiater-pasien? Tidak! Kontrak perilaku dapat diberdayakan secara mandiri, yang ini disebut sebagai self-contract (swakontrak). Ketika Anda merasakan adanya penurunan motivasi belajar atau kerja, kerancuan orientasi, kekacauan fokus, ketidakjelasan minat, dan berbagai kegamangan sikap, akan bermanfaat kalau Anda mencoba untuk membuat kontrak pribadi, kontrak perilaku yang dikelola sendiri (swakontrak). Anda juga dapat memutuskan untuk membuat kontrak pribadi guna menghilangkan kebiasaan yang tidak dikehendaki, seperti: kecanduan rokok, bahkan narkoba (tapi yang disebut terakhir ini janganlah menimpa Anda), kebiasaan bangun dan masuk kuliah terlambat, menunda-nunda penyelesaian tugas, malas mandi dan lain-lain.
Saran-saran yang perlu diperhatikan untuk merumuskan swakontrak bagi pengembangan perilaku diri adalah:
Baca Lanjutannya…
Tinggalkan sebuah Komentar
Ditulis dalam Pengembangan Pribadi
Oleh: lutfifauzan | Agustus 9, 2009
Thought Stopping
MENGENDALIKAN PIKIRAN NEGATIF DENGAN THOUGHT STOPPING
Lutfi Fauzan
Seorang mahasiswi didera kecemasan kronis karena sudah tiga semester mengerjakan skripsi namun belum tampak harapan terang untuk segera selesai. Pinginnya sih segera selesai, menikmati senangnya diwisuda dengan diantar keluarga, foto bersama keluarga dan calon pendamping, bekerja dan menikah. Orang tua sering menanyakan, “Kapan kamu selesai nak? Bapakmu sudah pensiun, kita semakin berat menyediakan biaya…” Apa daya kemajuan ke arah penyelesaian tugas akhir kuliah tersebut masih tersendat-sendat. Kesulitan yang ia alami bukan sekedar segi akademik melainkan problem emosional. Ia mendapat pembimbing skripsi yang cara berbicara dan raut wajahnya sepintas seperti ayahnya. Hal ini mengingatkannya pada masa kecil dalam pengasuhan orang tua. Bapaknya memiliki gaya otoriter, apa yang dikatakan tidak boleh dibantah atau ia akan mendapat bentakan yang lebih keras dan pukulan fisik.
Ada pengalaman yang sangat membekas, ketika adiknya melakukan kesalahan ternyata ia yang disalahkan. Ia ingin memberikan penjelasan tetapi tidak diberi kesempatan. ”Saya dijadikan tertuduh, sakit rasa hati saya. Semasa kecil Saya sering berharap seandainya ayah mati atau tidak pernah ada”. Ketika Saya respon, ”Kalau ayah nggak pernah ada, kan kamu nggak akan ada juga…” ia tertawa menyadari kekonyolannya. Dengan latar belakang pengalaman masa kecil seperti itu, sekarang setiap berhadapan dengan pembimbing skripsi ia merasakan seperti berhadapan dengan ayahnya. Takut untuk membantah (benar-benar tidak ada khazanah respon, SAPA TAKUT?!). Setiap mau berbicara untuk memperoleh penjelasan lebih gamblang tentang maksud pak pembimbing rasanya mulut terkatup dengan kuat, kecuali mengatakan ”Ya Pak” dan ”Ya Pak”, termasuk ketika pak pembimbing berbicara hal-hal filosofis yang ia tidak nyambung sama sekali, cilakak lah. Pandangan yang belum teruji, seperti: ”orang ini seperti ayah saya”, ”saya tidak boleh membantahnya”, ”dia tidak mungkin mengerti saya” diikuti cemas dan anggapan dalam pola ”jangan-jangan ….” membuat dia tidak bisa mengembangkan komunikasi yang berimbang dan sehat. Oleh karena yang dikatakan pembimbing sering merupakan hal-hal yang baru, maka ia merasakan tuntutannya selalu berkembang. Ia sudah melacak ke internet, mencari bahan pustaka ke beberapa perpustakaan PT di Surabaya (daerah asalnya) dan UGM Yogyakarta sampai harus menginap di kota tersebut (untung diantar ayahnya), namun belum terpenuhi. Dengan berderai air mata ia tumpahkan keluhan dan segala perasaan yang mendera. Saya pun memberi kesempatan kepadanya untuk menangis. Lupa membawa sapu tangan, Saya berikan tissue yang senantiasa tersedia di ruang konseling — di ruang konseling tidak dilarang menangis, dan tidak perlu malu, bahkan konselor menganjurkan untuk menangis jika ingin menangis agar terjadi proses pelegaan.
Tangisan bisa melegakan namun belum menyelesaikan semua persoalan, sebab belum menukik pada pengelolaan sumber masalah. Dengan tangisan sebagian beban emosional berkurang tetapi problem emosional akan kembali muncul dan mengganggu sebelum diselesaikan. Pada kasus di atas problem emosional bersumber pada adanya pikiran yang negatif: bayang-bayang sikap dan perlakuan ayah di masa lalu. Setiap kali menemui pembimbing, yang muncul adalah bayangan perlakuan ayah semasa kecil dan respon yang dikhawatirkan akan ia terima. Bayangan dan kekhawatiran ini merupakan pikiran negatif yang menghambat pertumbuhan pribadi pada umumnya. Masalah ini dapat diatasi dengan teknik thought stopping, dan biasanya diikuti dengan cognitive restructuring (Insya Allah dibahas pada terbitan berikutnya).
Mengaplikasikan Thought Stopping pada Diri
Thought stopping merupakan keterampilan memberikan instruksi kepada diri sendiri (swaperintah) untuk menghentikan alur pikiran negatif melalui penghadiran rangsangan atau stimulus yang mengagetkan. Mengapa diperlukan stimulus yang mengagetkan, didasarkan pada pandangan bahwa pikiran itu ketika beroperasi akan berjalan seperti aliran sungai. Aliran pikiran ini dapat dibuyarkan atau dihambat jalannya sehingga terputus melalui cara pemblokiran. Secara sederhana dapat diberikan contoh yang biasa terjadi pada orang yang sedang melamun. Ketika melamun, kita terbawa oleh aliran angan-angan. Begitu ada yang mengagetkan, misalnya: ada yang menegur, ”Heh ngelamun aja!” atau ada yang mendorong punggung kita dengan mengatakan, ”Harri giinih ngelamunria” maka kita kembali pada kesadaran, melamun tidak berlanjut. Begitu kan menurut pengalaman Anda? Demikian halnya dengan pikiran negatif yang mengganggu seseorang. Pemunculannya dapat diblokir atau dikacaukan alirannya dengan instruksi ”TIDAK” atau ”STOP”. Maksudnya setiap muncul pikiran negatif yang mengganggu yang menimbulkan masalah emosional dan perilaku dapat kita hentikan dengan menyengaja menghentikan dengan mengatakan tidak atau stop pada diri kita sendiri. Jika hal itu dilatihkan dan dilakukan berulang-ulang, maka akan terbentuk semacam mekanisme kendali pada diri kita setiap kali muncul pikiran negatif. Pikiran negatif itu dengan serta merta berhenti dan tidak mengganggu emosi dan kewajaran perilaku kita lagi.
Model Penghentian
Ada dua macam cara menghentikan pikiran negatif: overt dan covert. Cara yang pertama menghentikannya dengan mengucapkan (bersuara) kata-kata ”STOP” atau ”TIDAK”, sedangkan yang ke dua dengan isyarat atau niatan batin saja. Melalui isyarat, misalnya dengan menepuk atau mencubit anggota tubuh tertentu. Keduanya juga dapat diterapkan secara bersama, kata-kata dan isyarat.
Untuk sampai pada tinagkat terampil dan efektif penggunaannya kita bisa melatihnya. Langkahnya mulailah dengan menciptakan keadaan rileks. Bila kondisi rileks tercapai mulailah munculkan pikiran negatif yang selama ini sering muncul dan mengganggu Anda. Biarkan beberapa saat pikiran itu menari-nari di panggung pikiran Anda. Kemudian ucapkanlah kata ”STOP” diikuti isyarat ke tubuh dengan niat menghentikan pikiran itu. Lakukan hal ini berulang-ulang sehingga menjadi siap pada saat diperlukan. Selamat mencoba.
Telah dimuat pada Majalah Kampus UM, KOMUNIKASI Nomor 250 Juni-Juli 2007
Tinggalkan sebuah Komentar
Ditulis dalam Pengembangan Pribadi
Oleh: lutfifauzan | Agustus 8, 2009
MK: Konseling Individu
SILABUS KONSELING INDIVIDU
(Lutfi Fauzan)
A. Identitas Perguruan Tinggi
1. Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Malang
2. Fakultas : FIP
3. Jurusan : Bimbingan Konseling dan Psikologi
4. ProgramStudi : Bimbingan dan Konseling / Psikologi
B. Identitas Mata Kuliah
1. Nama Mata Kuliah : Konseling Individu
2. Kode Mata Kuliah : PKP413
3. Semester : 4
4. Bobot Sks/Js : 4/6
C. Mata Kuliah Prasyarat : PKP407
D. Kelompok Mata Kuliah: Mata Kuliah Keilmuan & Keterampilan (MKK)
E. Kompetensi
Mengaplikasikan pendekatan /model/jenis pelayanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling.
F. Indikator
1. Menelaah karakteristik model-model konseling
2. Mengkritisi kelebihan dan kelemahan teori-teori konseling.
3. Mengaplikasikan model konseling pada kasus tertentu
4. Mengorientasi model pada penerapan di lapangan
5. Memilih model bernilai harmoni dengan falsafah pribadi.
G. Deskripsi Mata Kuliah
1. Paradigma sistematik teori-teori konseling
2. Anasir teori konseling dalam konteks praktis.
3. Model Psikoanalisis: konsep dasar, prosedur dan teknik konseling
4. Model Adlerian: Konsep dasar, prosedur dan teknik konseling
5. Model Person Centered: Konsep dasar, prosedur dan teknik
6. Model Gestalt: Konsep dasar, prosedur dan teknik
7. Model Behavioral: konsep dasar, prosedur dan teknik konseling
8. Model Rasional Emotif: konsep dasar, prosedur dan teknik konseling
9. Model Realita: Konsep dasar, prosedur dan teknik konseling
10. Model Trait & Factors: Konsep dasar, prosedur dan teknik konseling
11. Model Kontemporer dan Multikultural: Konsep dasar, prosedur dan teknik konseling
H. Strategi Pembelajaran
1. Expository untuk menyampaikan konsep-konsep.
2. Diskusi
3. Latihan
4. Tugas Proyek
I. Media Pembelajaran
1. Referensi model-model konseling
2. Laporan survey praktik konseling
3. Media elektronik konseling
J. Asesmen
1. Tes unit (untuk setiap model) (50%)
2. Portofolio (aktivitas dan penyelesaian tugas individu dan kelompok) (25%)
3. Tugas proyek (praktik konseling berbasis AVA) (25%)
K. Tugas-Tugas Mahasiswa
1. Menelaah referensi
2. Menyusun makalah dan presentasi kelompok
3. Mengerjakan tugas dan refleksi individual
4. Observasi lapangan
5. Pengembangan media
L. Daftar Pustaka
1) Corey, G. 2005. Theory & Practice ot Counseling & Psychotherapy California, 7th eds: Brook/Cole Publishing Company.
2) Flanagan, J.S. & Flanagan, R.S. (2004). Counseling and psychotherapy theories in contecxt and practice. Hoboken, NJ: John Wiley & Sons.
3) Gilliand, B.E. James R.K. & Bowman, J.T. 1989. Theory and Strategis Practice. Boston: Allyn & Bacon, Inc.
4) Hansen, J.C. Ricard R.S., & Ricard W.W. 1982 Counseling: Theory and Practice. Boston: Allyn & Bacon, Inc.
Tinggalkan sebuah Komentar
Ditulis dalam Perkuliahan
Oleh: lutfifauzan | Mei 23, 2009
Asertif
MENGEMBANGKAN SIKAP ASERTIF DALAM TRANSAKSI SOSIAL
Lutfi Fauzan
Dalam suatu konseling, seorang mahasiswi mengeluh tentang perbuatan teman satu kamar di tempat pemondokannya. Ia satu angkatan tetapi berbeda jurusan. Dalam pandangannya, temannya itu sungguh keterlaluan dan tak tahu diri. Ia berbuat seenaknya, tidak mau berbagi menggunakan meja belajar yang hanya satu dan tidak seberapa besar yang ada di kamar mereka. Ia juga jarang mau merapikan tempat tidur, sering meninggalkan piring atau gelas kotor di kamar — ini bukan bermaksud menyindir Anda yang juga seperti itu…
Itu sih belum seberapa, ada yang lebih menyakitkan. Suatu hari ia membeli sepatu baru (hebaatt…). Begitu teman sekamarnya mengetahui ia membawa bungkusan, dimintanya bungkusan itu untuk dilihat. Setelah mengetahui bahwa isi bungkusan itu sepatu, dengan mata berbinar temannya tersebut berkata, “Alangkah bagusnya sepatu ini! Coba sih … O, ternyata cukup dengan kakiku, dan rupanya aku pantas juga memakai sepatu ini”. Keesokan harinya, ketika mau berangkat kuliah, temannya tersebut sudah mendahului memakai sepatu yang baru ia beli semalam. “Saya pakai nggak apa-apa kan?” katanya, dan langsung ngeloyor pergi. Ala maak…. Celakanya kejadian itu berulang terus, setiap hari temannya mendahului memakai sepatu dia, bahkan tanpa meminta izin ataupun berkata apa-apa lagi. Namun apa mau dikata, ia tidak suka perbuatan temannya tetapi ia tidak mampu menegur dan mengekspresikan ketidaksukaanya itu, kecuali hanya diam dan memendam rasa jengkel di dadanya.
Peristiwa lain yang sering terjadi bukan sebatas dialami mahasiswa, melainkan pada ibu-ibu bahkan bapak-bapak iialah ketika datang ke rumah mereka seorang salesman atau salesgirl menawarkan setengah mendesak-desak agar tuan rumah bersedia membeli apa yang mereka jajakan. Dengan setengah terpaksa tuan rumah membeli barang yang ditawarkan sekalipun ia tidak membutuhkan. Dibelinya barang itu, dan setelah itu ia menyesali perbuatannya. Tetapi bagaimana lagi, ia merasa tidak enak kalau tidak membeli barang yang telah ditawarkan tadi.
Penggalan-penggalan ilustrasi di atas mencerminkan betapa sebagaian orang tidak memiliki sikap asertif dalam transaksi sosial. Keasertifan atau kelugasan merupakan kemampuan untuk menyadari keinginan dan perasaan diri dan untuk mempertahankan hak-hak diri tanpa perlu melanggar hak orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Kemampuan untuk bersikap asertif (lugas) adalah bagian penting dalam membuat batasan tentang diri sendiri dalam suatu hubungan atau transaksi sosial. Dalam hal ini dapat dibuat perbedaaan yang jelas antara keseganan, kepatuhan, agresi, dan asertif.
Keseganan berkaitan dengan tertahannya pikiran dan perasaan, sementara kepatuhan memerlukan persetujuan pada sikap-sikap yang anda tidak setuju. Agresi menyatakan permusuhan dan tanpa mempedulikan pelanggaran hak dan kebutuhan orang lain. Agresi dan keseganan berakar dari perasaan terancam dan ketidakberda-yaan, dan agresi sering terdiri atas pencurahan perasaan perasaan yang terpendam, keasertifan yang tertahan, atau perasaan yang sebelumnya tidak tercurahkan. Keasertifan diri menyatakan pernyataan akan kebutuhan, perasaan, dan hak hak anda yang sesuai dengan yang anda inginkan.
Faktor ketidakasertifan
Kita mampu bersikap asertif atau tidak, hal itu banyak dipengaruhi oleh bagaimana kita mempersepsi atau berfikir tetang sesuatu. Pikiran yang tidak realistik dapat memberikan hambatan pada keasertifan. Dengan perkataan lain keasertifan sangat bergantung pada struktur kognitif seseorang, ada yang menunjang dan ada yang menghambat. “Sungkanisme”, takut kalau-kalau nanti menyakiti dia, ada perasa-an berdosa setiap kali tidak meng-YA-kan orang lain, merasa tidak terpuji ketika mengatakan TIDAK kepada orang lain, dan sejumlah perasaan yang tidak enak lain-nya merupakan kerangka kognisi yang dapat menghambat seseorang bersikap asertif.
Sebagian orang mengatakan asertif hanya cocok untuk dunia barat, tidak sesuai dengan budaya ketimuran yang mengutamakan tenggang rasa, tepo seliro dsb. Hal itu tidak seluruhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Disiplin dengan sikap asertif, konsisten pada hampir setiap situasi mungkin menimbulkan ketidaksukaan orang sekitar karena akan tampak kita tidak memiliki tepo seliro sama sekali. Namun dalam kasus orang yang selalu diperdaya orang lain seperti kasus yang dikemukakan di bagian awal tulisan ini apakah keasertifan tidak perlu dikembangkan? Dalam budaya kita agaknya kita perlu mengembangkan sikap dan keterampilan asertif untuk diterapkan secara selektif.
Upaya asertif
Beberapa hal yang dapat diupayakan untuk tampil asertif: (1) Mengetahui pikiran dan perasaan diri sendiri, apa keinginan sejati Anda. (2) Berfikirlah secara realistik, uji kembali berbagai jargon dan mitos yang selama ini Anda terima tanpa kritik. (3) Berkomunikasilah dengan apa yang anda inginkan, jangan dustai diri Anda. (4) Bersikap positif terhadap orang lain. (5) Bebas bela diri, mau mengakui kesalahan dan menghindari sikap menyalahkan orang lain karena masalah Anda. (6) Mampu berdikari, mampu tidak berkata “ya” bila anda bermaksud mengatakan “tidak”. (7) Menggunakan jumlah kekuatan yang tepat dalam bersikap asertif, jangan kebablasan lah. (8) Mengetahui batasan diri sendiri dan orang lain untuk menentukan apakah Anda perlu asertif atau tidak sesuai dengan situasinya. Nah.
Telah dimuat pada Majalah Kampus UM, KOMUNIKASI Nomor 249 2007
& Komentar
Ditulis dalam Pengembangan Pribadi
Oleh: lutfifauzan | Mei 7, 2009
Shalat Khusyu’ 1
Tinggalkan sebuah Komentar
Ditulis dalam jaddidu imanakum
Oleh: lutfifauzan | Mei 7, 2009
Khutbah Idul Fithri 1428 di Halaman SAMSAT Malang
Tinggalkan sebuah Komentar
Ditulis dalam jaddidu imanakum
Oleh: lutfifauzan | Mei 7, 2009
Silabus Model Konseling Individual
SILABUS KONSELING INDIVIDU
Pembina MK: Lutfi Fauzan
A. Identitas Perguruan Tinggi
1. Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Malang
2. Fakultas : FIP
3. Jurusan : Bimbingan Konseling dan Psikologi
4. ProgramStudi : Bimbingan dan Konseling / Psikologi
B. Identitas Mata Kuliah
1. Nama Mata Kuliah : Konseling Individu
2. Kode Mata Kuliah : PKP413
3. Semester : 4
4. Bobot Sks/Js : 4/6
C. Mata Kuliah Prasyarat : PKP407
D. Kelompok Mata Kuliah: Mata Kuliah Keilmuan & Keterampilan (MKK)
E. Kompetensi
Mengaplikasikan pendekatan /model/jenis pelayanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling.
F. Indikator
1. Menelaah karakteristik model-model konseling
2. Mengkritisi kelebihan dan kelemahan teori-teori konseling.
3. Mengaplikasikan model konseling pada kasus tertentu
4. Mengorientasi model pada penerapan di lapangan
5. Memilih model bernilai harmoni dengan falsafah pribadi.
G. Deskripsi Mata Kuliah
1. Paradigma sistematik teori-teori konseling
2. Anasir teori konseling dalam konteks praktis.
3. Model Psikoanalisis: konsep dasar, prosedur dan teknik konseling
4. Model Adlerian: Konsep dasar, prosedur dan teknik konseling
5. Model Person Centered: Konsep dasar, prosedur dan teknik
6. Model Gestalt: Konsep dasar, prosedur dan teknik
7. Model Behavioral: konsep dasar, prosedur dan teknik konseling
8. Model Rasional Emotif: konsep dasar, prosedur dan teknik konseling
9. Model Realita: Konsep dasar, prosedur dan teknik konseling
10. Model Trait & Factors: Konsep dasar, prosedur dan teknik konseling
11. Model Kontemporer dan Multikultural: Konsep dasar, prosedur dan teknik konseling
H. Strategi Pembelajaran
1. Expository untuk menyampaikan konsep-konsep.
2. Diskusi
3. Latihan
4. Tugas Proyek
I. Media Pembelajaran
1. Referensi model-model konseling
2. Laporan survey praktik konseling
3. Media elektronik konseling
J. Asesmen
1. Tes unit (untuk setiap model) (50%)
2. Portofolio (aktivitas dan penyelesaian tugas individu dan kelompok) (25%)
3. Tugas proyek (praktik konseling berbasis AVA) (25%)
K. Tugas-Tugas Mahasiswa
1. Menelaah referensi
2. Menyusun makalah dan presentasi kelompok
3. Mengerjakan tugas dan refleksi individual
4. Observasi lapangan
5. Pengembangan media
L. Daftar Pustaka
1) Corey, G. 2006. Theory & Practice of Counseling & Psychotherapy California, 7th eds: Brook/Cole Publishing Company.
2) Corey, G. 2005. Student Manual for Theory & Practice of Counseling & Psychotherapy California, 6th eds: Brook/Cole Publishing Company.
3) Flanagan, J.S. & Flanagan, R.S. (2004). Counseling and psychotherapy theories in contecxt and practice. Hoboken, NJ: John Wiley & Sons.
4) Gilliand, B.E. James R.K. & Bowman, J.T. 1989. Theories and Strategies in Counseling and Psychotherapy, 2th eds: Boston: Allyn & Bacon, Inc.
5) Hansen, J.C. Ricard R.S., & Ricard W.W. 1982 Counseling: Theory and Practice. Boston: Allyn & Bacon, Inc.


Pendekatan Konseling Rasional Emotif
Diterbitkan 23 Januari 2008 bimbingan dan konseling 3 Comments
Tags: artikel, berita, konseling, KTSP, makalah, metode, opini, pendekatan, pendidikan, strategi, teknik, umum

A. Konsep Dasar
Manusia padasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi tidak efektif.Reaksi emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun tidak disadari.Hambatan psikologis atau emosional adalah akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional. Emosi menyertai individu yang berpikir dengan penuh prasangka, sangat personal, dan irasional.Berpikir irasional diawali dengan belajar secara tidak logis yang diperoleh dari orang tua dan budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari verbalisasi yang digunakan. Verbalisasi yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan verbalisasi yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat.Perasaan dan pikiran negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.
Pandangan pendekatan rasional emotif tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep kunci teori Albert Ellis : ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Antecedent event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.
Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecendent event bagi seseorang.
Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan kerana itu menjadi prosuktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan ayau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan keran itu tidak produktif.
Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.
B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
Dalam perspektif pendekatan konseling rasional emotif tingkah laku bermasalah adalah merupakan tingkah laku yang didasarkan pada cara berpikir yang irrasional.
Ciri-ciri berpikir irasional : (a) tidak dapat dibuktikan; (b) menimbulkan perasaan tidak enak (kecemasan, kekhawatiran, prasangka) yang sebenarnya tidak perlu; (c) menghalangi individu untuk berkembang dalam kehidupan sehari-hari yang efektif
Sebab-sebab individu tidak mampu berpikir secara rasional : (a) individu tidak berpikir jelas tentangg saat ini dan yang akan dating, antara kenyatan dan imajinasi; (b) individu tergantung pada perencanaan dan pemikiran orang lain; (c) orang tua atau masyarakat memiliki kecenderungan berpikir irasional yang diajarkan kepada individu melalui berbagai media.
Indikator keyakinan irasional : (a) manusia hidup dalam masyarakat adalah untuk diterima dan dicintai oleh orang lain dari segala sesuatu yang dikerjakan; (b) banyak orang dalam kehidupan masyarakat yang tidak baik, merusak, jahat, dan kejam sehingga mereka patut dicurigai, disalahkan, dan dihukum; (c) kehidupan manusia senantiasa dihadapkan kepada berbagai malapetaka, bencana yang dahsyat, mengerikan, menakutkan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh manusia dalam hidupnya; (d) lebih mudah untuk menjauhi kesulitan-kesulitan hidup tertentu dari pada berusaha untuk mengahadapi dan menanganinya; (e) penderitaan emosional dari seseorang muncul dari tekanan eksternal dan bahwa individu hanya mempunyai kemampuan sedikit sekali untuk menghilangkan penderitaan emosional tersebut; (f) pengalaman masa lalu memberikan pengaruh sangat kuat terhadap kehidupan individu dan menentukan perasaan dan tingkah laku individu pada saat sekarang; (g) untuk mencapai derajat yang tinggi dalam hidupnya dan untuk merasakan sesuatu yang menyenangkan memerlukan kekuatan supranatural; dan (h) nilai diri sebagai manusia dan penerimaan orang lain terhadap diri tergantung dari kebaikan penampilan individu dan tingkat penerimaan oleh orang lain terhadap individu.
C. Tujuan Konseling
Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan-pandangan klien yang irasional dan tidak logis menjadi pandangan yang rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan diri, meningkatkan sel-actualizationnya seoptimal mungkin melalui tingkah laku kognitif dan afektif yang positif.
Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, merasa was-was, rasa marah.
Tiga tingkatan insight yang perlu dicapai klien dalam konseling dengan pendekatan rasional-emotif :
Pertama insight dicapai ketika klien memahami tentang tingkah laku penolakan diri yang dihubungkan dengan penyebab sebelumnya yang sebagian besar sesuai dengan keyakinannya tentang peristiwa-peristiwa yang diterima (antecedent event) pada saat yang lalu.
Kedua, insight terjadi ketika konselor membantu klien untuk memahami bahwa apa yang menganggu klien pada saat ini adalah karena berkeyakinan yang irasional terus dipelajari dari yang diperoleh sebelumnya.
Ketiga, insight dicapai pada saat konselor membantu klien untuk mencapai pemahaman ketiga, yaitu tidak ada jalan lain untuk keluar dari hembatan emosional kecuali dengan mendeteksi dan melawan keyakinan yang irasional.
Klien yang telah memiliki keyakinan rasional tjd peningkatan dalam hal : (1) minat kepada diri sendiri, (2) minat sosial, (3) pengarahan diri, (4) toleransi terhadap pihak lain, (5) fleksibel, (6) menerima ketidakpastian, (7) komitmen terhadap sesuatu di luar dirinya, (8) penerimaan diri, (9) berani mengambil risiko, dan (10) menerima kenyataan.
D. Deskripsi Proses Konseling
Konseling rasional emotif dilakukan dengan menggunakan prosedur yang bervariasi dan sistematis yang secara khusus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku dalam batas-batas tujuan yang disusun secara bersama-sama oleh konselor dan klien.
Tugas konselor menunjukkan bahwa
• masalahnya disebabkan oleh persepsi yang terganggu dan pikiran-pikiran yang tidak rasional
• usaha untuk mengatasi masalah adalah harus kembali kepada sebab-sebab permulaan.
Operasionalisasi tugas konselor : (a) lebih edukatif-direktif kepada klien, dengan cara banyak memberikan cerita dan penjelasan, khususnya pada tahap awal mengkonfrontasikan masalah klien secara langsung; (b) menggunakan pendekatan yang dapat memberi semangat dan memperbaiki cara berpikir klien, kemudian memperbaiki mereka untuk dapat mendidik dirinya sendiri dengan gigih dan berulang-ulang menekankan bahwa ide irrasional itulah yang menyebabkan hambatan emosional pada klien; (c) mendorong klien menggunakan kemampuan rasional dari pada emosinya; (d) menggunakan pendekatan didaktif dan filosofis menggunakan humor dan “menekan” sebagai jalan mengkonfrontasikan berpikir secara irasional.
Karakteristik Proses Konseling Rasional-Emotif :
1. Aktif-direktif, artinya bahwa dalam hubungan konseling konselor lebih aktif membantu mengarahkan klien dalam menghadapi dan memecahkan masalahnya.
2. Kognitif-eksperiensial, artinya bahwa hubungan yang dibentuk berfokus pada aspek kognitif dari klien dan berintikan pemecahan masalah yang rasional.
3. Emotif-ekspreriensial, artinta bahwa hubungan konseling yang dikembangkan juga memfokuskan pada aspek emosi klien dengan mempelajari sumber-sumber gangguan emosional, sekaligus membongkar akar-akar keyakinan yang keliru yang mendasari gangguan tersebut.
4. Behavioristik, artinya bahwa hubungan konseling yang dikembangkan hendaknya menyentuh dan mendorong terjadinya perubahan tingkah laku klien.
E. Teknik Konseling
Pendekatan konseling rasional emotif menggunakan berbagai teknik yang bersifat kogntif, afektif, dan behavioral yang disesuaikan dengan kondisi klien. Beberapa teknik dimaksud antara lain adalah sebagai berikut.
Teknik-Teknik Emotif (Afektif)
Assertive adaptive
Teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan tingkah laku yang diinginkan. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.
Bermain peran
Teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.
Imitasi
Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model tingkah laku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan tingkah lakunya sendiri yang negatif.
Teknik-teknik Behavioristik
Reinforcement
Teknik untuk mendorong klien ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun hukuman (punishment). eknik ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai dan keyakinan yang irrasional pada klien dan menggantinya dengan sistem nilai yang positif.
Dengan memberikan reward ataupun punishment, maka klien akan menginternalisasikan sistem nilai yang diharapkan kepadanya.
Social modeling
Teknik untuk membentuk tingkah laku-tingkah laku baru pada klien. Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara imitasi (meniru), mengobservasi, dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan norma-norma dalam sistem model sosial dengan masalah tertentu yang telah disiapkan oleh konselor.
Teknik-teknik Kognitif
Home work assigments,
Teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri, dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola tingkah laku yang diharapkan.
Dengan tugas rumah yang diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis, mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan
Pelaksanaan home work assigment yang diberikan konselor dilaporkan oleh klien dalam suatu pertemuan tatap muka dengan konselor
Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri klien dan mengurangi ketergantungannya kepada konselor.
Latihan assertive
Teknik untuk melatih keberanian klien dalam mengekspresikan tingkah laku-tingkah laku tertentu yang diharapkan melalui bermain peran, latihan, atau meniru model-model sosial.
Maksud utama teknik latihan asertif adalah : (a) mendorong kemampuan klien mengekspresikan berbagai hal yang berhubungan dengan emosinya; (b) membangkitkan kemampuan klien dalam mengungkapkan hak asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak asasi orang lain; (c) mendorong klien untuk meningkatkan kepercayaan dan kemampuan diri; dan (d) meningkatkan kemampuan untuk memilih tingkah laku-tingkah laku asertif yang cocok untuk diri sendiri.
Sumber : Dr. DYP Sugiharto, M.Pd. Pendekatan-Pendekatan Konseling. (Makalah

TERAPI REALITAS DAN TERAPI RASIONAL EMOTIF
A. TERAPI REALIATAS
Konsep-konsep Utama
Pandangan Tentang Manusia
Terapi realitas adalah suatu bentuk modifikasi tingkah laku, karena, dalam penerapan-penerapan institusionalnya, merupakan tipe pengondisian operan yang tidak ketat.
Menurut terapi realitas, akan sangat berguna apabila menganggap identitas dalam pengertian “identitas keberhasilan” lawan “identitas kegagalan”. Dalam pembentukan identitas, masing-masing dari kita mengembangkan keterlibatan-keterlibatan dengan orang laian dan dengan bayangan diri, yang dengannya kita merasa relative berhasil atau tidak berhasil. Orang laian memerankan permainan yang berarti dalam membantu kita menjelaskan dan memahami identitas kita sendiri. Cinta dan penerimaan berkaitan lansung dengan pembentukan identitas. Menurut Glaser, basis dari terapi realitas adalah membantu para klien dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar Psikologisnya, yang mencakup “kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta kebutuhan untuk merasakan bahwa kita berguna baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain.
Pandangan tentang manusia mencakup perntaan bahwa suatu “kekuatan pertumbuhan” mendorong kita untuk berusaha mencapai suatu identitas keberhasilan. Sebagaimanan dinyatakan oleh Glaser dan Zunin suatu kekuatan kea rah kesehatan atau pertumbuhan. Pada dasarnya orang ingin puas hatidan menikmati suatu identitas keberhasilan, menunjukkan tingkah laku yang bertanggung jawab dan memiliki hubungan interpersonal yang penuh makna. Penderitaan pribadi hanya bisa diubah dengan perubahan identitas. Pandangan terapi realitas menyatakan bahw, karena individu-individu bias mengubah cara hidup, perasaan dan tingakah lakunya, maka mereka pun bisa mengubah identitasnya. Perubahan identiras bergantung pada perubahan tingkah laku.
Ciri-ciri Terapi Realitas
1. terapin realitas menolak konsep tentang penyakit mental
2. terapi realitas berfokus pada tingkah laku sekarang alih-alih pada perasaan dan sikap-sikap
3. terapi realitas menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai
4. terapi realitas tidak menekankan transferensi
5. terapi realitas menekankan pada aspek kesadaran
6. terapi realirtas menghapus hukuman
7. terpi realitas menekankan pada tanggung jawab.
Prinsip-Prinsip Terapi Relitas
Berikut tinjauan ringkas atas prinsip-prinsip yang menyajikan kerangka bagi proses belajaryang terjadi sebagai hasil dari hubungan antara terapis dan klien:
1. terapi realitas berlandaskan hubungan atau keterlibatan pribadi antara terapis dan klien. Terapis, dengan kehangatan, pengertian, penerimaan, dan kepercayaannya atas kesanggupan klien untuk mengembangkan suatu identitas keberhasilan, harus mengkomunikasikan bahwa dia menaruh perhatian.
2. perencanaan adalah hal yang esensial dalam terapi realitas. Situasi terapiutik tidak terbatas pada diskusi-diskusi antara terapis dengan klien tetapi mereka harus membentuk rencana-rencana, kemudian dijalankan
3. komitmen adalah kunci utama terapi realitas, setelah membuat suatu perencanaan antara terapi dengan klien, terpis berusaha membantu untuk membuat komitmen-komitmen untuk melaksanakan rencana-rencana tersebut.
4. terpi realitas tidak menerima dalih, artinya, bagaimanapun hasil yang dicapai oleh klien, apkah berhasil atau gagal, terpis tidak menerima alas an-alasan dari klien.
Penerapan: Teknik-teknik dan Prosedur Terapeutik
Teknik-Teknik dan Prosedur Utama
Terapi realitas bisa ditandai sebagai terapi yang aktif secara verbal. Prosedur-prosedurnya difokuskan pada ketentuan-ketentuan dan potensi-potensi klien yang dihubungkan dengan tingkah lkunya sekarang dan usahanya untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Dalam membantu klien, untuk menciptakan identitas keberhasilan, terapis bisa menggunakan beberapa teknik sebagai berikut:
1. terlibat dalam permainan dengan klien
2. menggunakan humor
3. mengonfrontasikan klien dan menolak dalih apapun
4. membantu klien dalam merumuskan rencana-rencana yang spesifik bagi tindakan
5. bertindak sebagai model dan guru
6. memasang batas-batas dan menyusun situasi terapi
7. menggunakan “terapi kejutan verbal” atau sarkasme yang layak untuk mengonfrontasikan klien dengan tingkah lakunya yang tidak realistis
8. melibatkan diri dengan klien dalam upayanya mencari kehidupan yang lebih efektif.
Penerapan pada Situasi-situasi Konseling
Terpi realitas cocok untuk digunakan dalam terapi individual, kelompok, dan konseling perkawinan. Dalam terpi kelompok biasanya, terapis menemui klien sekali dalam seminggu selama 45 menit. Pada permulaan terap, terapis bisa memberikan konsultasi kepada klien mengenai lamanya terapi.
Menurut Glaser dan Zunin, konseling perkawinan atau terapi penyatuan perkawinan sering dilakukan oleh terapis realitas. Mereka memandang tipe konseling ini sebagai season yang terbatas, biasanya terdiri atas lima sampai lima belas kali pertemuan. Pada akhir terpi diadakan evaluasi, untuk menentukan apakah ada kemajuan dan apakah seson selanjutnya bisa dilanjutkan.
B. TERAPI RASIONAL EMOTIF
Konsep-Konsep Utama
Pandangan Tentang Manusia
Rational Emotive Therapy atau Teori Rasional Emotif mulai dikembangan di Amerika pada tahun 1960-an oleh Alberl Ellis, seorang Doktor dan Ahli dalam Psikologi Terapeutik yang juga seorang eksistensialis dan juga seorang Neo Freudian.
Terapi rasional emotif (TRE) adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat. Manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain, serta tumbuh dan mengaktualisasikan diri. Akan tetapi, manusia juga memiliki kecenderungan-kecenderungan ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan secara tak berkesudahan, takhayul, intoleransi, perfeksionisme, dan mencela diri, serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri.
Terapi rasional emotif menegaskan bahwa manusia memiliki sumber-sumber yang tak terhingga bagi aktualisasi potensi-potensi dirinya dan bisa mengubah ketentuan-ketentuan pribadi dan masyarakat. Manusia dilahirkan dengan kecenderungan untuk mendesakkan pemenuhan keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan, hasrat-hasrat, dan kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Jika tidak segera mencapai apa yang diinginkannya, manusia mempersalahkan dirinya sendiri ataupun orang lain.
TRE menekankan bahwa manusia berpikir, beremosi, dan bertindak secara stimulan. Jarang manusia beremosi tanpa berpikir, sebab perasaan- perasaan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas suatu situasi yang spesifik.
Menurut Allbert Ellis, manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya ditentukan secara biologis dan didorong oleh naluri-naluri. Ia melihat individu sebagai makhluk unik dan memiliki kekuatan untuk memahami keterbatasan-keterbatasan, untuk mengubah pandangan-pandangan dan nilai-nilai dasar yang telah diintroyeksikannya secara tidak kritis pada masa kanak-kanak, dan untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungan menolak diri sendiri. Sebagai akibatnya, mereka akan bertingkah laku berbeda dengan cara mereka bertingkah laku di masa lampau. Jadi, karena bisa berpikir dan bertindak sampai menjadikan dirinya berubah, mereka bukan korban-korban pengkondisian masa lampau yang pasif.
Unsur pokok terapi rasional-emotif adalah asumsi bahwa berpikir dan emosi bukan dua proses yang terpisah Menurut Ellis, pilaran dan emosi merupakan dua hal yang saling bertumpang tindih, dan dalam prakteknya kedua hal itu saling terkait. Emosi disebabkan dan dikendalikan oleh pikiran. Emosi adalah pikiran yang dialihkan dan diprasangkakan sebagai suatu proses sikap dan kognitif yang intristik. Pikiran-pikiran seseorang dapat menjadi emosi seseorang dan merasakan sesuatu dalam situasi tertentu dapat menjadi pemikiran seseorang. Atau dengan kata lain, pikiran mempengaruhi emosi dan sebaliknya emosi mempengarulu pikiran. Pikiran seseorang dapat menjadi emosinya, dan emosi dalam keadaan tertentu dapat berubah menjadi pikiran.
Pandangan yang penting dari teori rasional-emotif adalah konsep hahwa banyak perilaku emosional indiuidu yang berpangkal pada “self-talk:” atau “omong diri” atau internatisasi kalimat-kalimat yaitu orang yang menyatakan kepada dirinya sendiri tentang pikiran dan emosi yang bersifat negatif. Adanya orang-orang yang seperti itu, menurut Eilis adalah karena: (1) terlalu bodoh untuk berpikir secara jelas, (2) orangnya cerdas tetapi tidak tahu bagaimana berpikir secara cerdas tetapi tidak tahu bagaimana herpikir secara jelas dalam hubungannya dengan keadaan emosi, (3) orangnya cerdas dan cukup berpengetahuan tetapi terlalu neurotik untuk menggunakan kecerdasan dan pengetahuan seeara memadai.
Terapi Rasional – Emotif dan Teori Kepribadian
Neurosis adalah pemikiran dan tingkah laku irasional. Gangguan-gangguan emosional berakar pada masa kanak-kanak, tetapi dikekalkan melalui reindoktrinasi sekarang. Sistem keyakinan adalah penyebab masalah-masalah emosional. Oleh karenanya, klien ditantang untuk menguji kesahihan keyakinan-keyakinan tertentu. Metode ilmiah diterapkan pada kehidupan sehari-hari.
Emosi-emosi adalah produk pemikiran manusia. Jika kita berpikir buruk tentang sesuatu, maka kita pun akan merasakan sesuatu itu sebagai hal yang buruk. Ellis menyatakan bahwa "gangguan emosi pada dasarnya terdiri atas kalimat-kalimat atau arti-arti yang keliru, tidak logis dan tidak bisa disahihkan, yang diyakini secara dogmatis dan tanpa kritik terhadapnya, orang yang terganggu beremosi atau bertindak sampai ia sendiri kalah".
TRE berhipotesis bahwa karena kita tumbuh dalam masyarakat, kita cenderung menjadi korban dari gagasan-gagasan yang keliru, cenderung mendoktrinasi diri dari gagasan-gagasan tersebut berulang-ulang dengan cara yang tidak dipikirkan dan autsugestif, dan kita tetap mempertahankan gagasan-gagasan yang keliru dalam tingkah laku overt kita. Beberapa gagasan irasional yang menonjol yang terus menerus diinternalisasikan dan tanpa dapat dihindari mengakibatkan kesalahan diri.
Tujuan Terapeutik
Ellis menunjukkan bahwa banyak jalan yang digunakan dalam TRE yang diarahkan pada satu tujuan utama, yaitu : " meminimalkan pandangan yang mengalahkan diri dari klien dan membantu klien untuk memperoleh filsafat hidup yang lebih realistik". Tujuan psikoterapis yang lebih baik adalah menunjukkan kepada klien bahwa verbalisasi-verbalisasi diri merka telah dan masih merupakan sumber utama dari gangguan-gangguan emosional yang dialami oleh mereka.
Ringkasnya, proses terapeutik terdiri atas penyembuhan irasionalitas dengan rasionalitas. Karena individu pada dasarnya adalah makhluk rasional dan karena sumber ketidakbhagiaannya adalah irasionalitas, maka individu bisa mencapai kebahagiaan dengan belajar berpikir rasional. Proses terapi, karenanya sebagian besar adalah proses belajar-mengajar. Menghapus pandangan hidup klien yang mengalahkan diri dan membantu klien dalam memperoleh pandangan hidup yang lebih toleran dan rasional.Tujuan dari Rational Emotive Theory adalah:
1. Memperbaiki dan mengubah segala perilaku yang irasional dan tidak logis menjadi rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan dirinya.
2. Menghilangkan gangguan emosional yang merusak
3. Untuk membangun Self Interest, Self Direction, Tolerance, Acceptance of Uncertainty, Fleksibel, Commitment, Scientific Thinking, Risk Taking, dan Self Acceptance Klien.
Prinsip-prinsip dalam TRE
Aktifitas-aktifitas therapeutic utama TRE dilaksanakan dengan satu maksud utama, yaitu : membantu klien untuk membebaskan diri dari gagasan-gagasan yang tidak logis dan untuk belajar gagasan-gagasan yang logis sebagai penggantinya. Sasarannya adalah menjadikan klien menginternalisasi suatu filsafat hidup yang rasional sebagaimana dia menginternalisasi keyakinan-keyakinan dagmatis yang rasional dan takhyul yang berasal dari orang tuanya maupun dari kebudayaannya.
Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, terapis memiliki tugas-tugas yang spesifik yaitu :
1. Mengajak klien untuk berpikir tentang beberapa gagasan dasar yang irasional yang telah memotivasi banyak gangguan tingkah laku.
2. Menantang klien untuk menguji gagasan-gagasannya.
3. Menunjukkan kepada klien ketidaklogisan pemikirannya.
4. Menggunakan suatu analisis logika untuk meminimalkan keyakinan-keyakinan irasional klien.
5. Menunjukkan bahwa keyakinan-keyakinan itu tidak ada gunanya dan bagaimana keyakinan-keyakinan akan mengakibatkan gangguan-gangguan emosional dan tingkah laku di masa depan.
6. Menggunakan absurditas dan humor untuk menghadapi irasionalitas pikiran klien
7. Menerangkan bagaimana gagasan-gagasan yang irasional bisa diganti dengan gagasan-gagasan yang rasional yang memiliki landasan empiris, dan
8. Mengajari klien bagaimana menerapkan pendekatan ilmiah pada cara bepiki sehingga klien bisa mengamati dan meminimalkan gagasan-gagasan iasional dan kesimpulan-kesimpulan yang tidak logis sekaang maupun masa yang akan datang, yang telah mengekalkan cara-cara merasa dan berperilaku yang merusak diri.
Hubungan antara Terapis dan Klien
Teapis berfungsi sebagai guu dan klien sebagai murid. Hubunagn pribadi antara terapis dan klien tidak esensial. Klien memperoleh pemahaman atas masalah dirinya dan kemudian harus secara aktif menjalankan pengubahan tingkah laku yang mengalahkan diri.
Teknik-Teknik dan Prosedur-Prosedur Utama
Terapi realitas bisa ditandai sebagai terapi yang aktif secara verbal. Prosedur – prosedurnya difokuskan pada kekuatan-kekuatan dan potensi-potensi klien yang dihubungkan dengan tingkah lakunya sekarang dan usahanya mencapai keberhasilan dalam hidup. Dalam membantu klien untuk menciptakan identitas keberhasilan, teapis bisa menggunakan beberapa teknik sebagai berikut :
- Terlibat dalam permainan peran dengan klien.
- Menggunakan humor.
- Mengonfrontasikan klien dan menolak dalih apapun.
- Membantu klien dalam merumuskan rencana-rencana yang sesifik bagi tindakan.
- Bertindak sebagai model dan guru.
- Memasang batas-batas dan menyusun situasi terapi.
- Menggunakan "terapi kejutan vebal" atau sarkasme yang layak untuk mengkonfrontasikan klien dengan tingkah lakunya yang tidak realistis.
- Melibatkan diri dengan klien dalam upayanya mencari kehidupan yang lebih efektif.
Manusia berfikir, berperasaan dan bertindak secara serentak. Kaitan yang begitu erat menyebabkan jika salah satu saja menerima gangguan maka yang lain akan terlibat sama. Jika salah satu diobati sehingga sembuh, dengan sendirinya yang dua lagi akan turut terobati.
Atas pandangan itu, walaupun TRE lebih menitikberatkan aspek kognitif dalam perawatan, tetapi aspek tingkah laku dan emosi turut diberi perhatian. Oleh sebab itulah dalam TRE, terdapat tiga teknik yang besar: Teknik-teknik Kognitif; Teknik-teknik Emotif dan Teknik-teknik Behavioristik.
1. Teknik-Teknik Kognitif
Teknik-teknik kognitif adalah teknik yang digunakan untuk mengubah cara berfikir klien. Dewa Ketut menerangkan ada empat teknik besar dalam teknik-teknik kognitif :
a. Teknik Pengajaran - Dalam RET, konselor mengambil peranan lebih aktif dari pelajar. Teknik ini memberikan keleluasan kepada konselor untuk berbicara serta menunjukkan sesuatu kepada klien, terutama menunjukkan bagaimana ketidaklogikan berfikir itu secara langsung menimbulkan gangguan emosi kepada klien tersebut.
b. Teknik Persuasif - Meyakinkan klien untuk mengubah pandangannya kerana pandangan yang ia kemukakan itu tidak benar. Konselor langsung mencoba meyakinkan, mengemukakan pelbagai argumentasi untuk menunjukkan apa yang dianggap oleh klien itu adalah tidak benar.
c. Teknik Konfrontasi - Konselor menyerang ketidaklogikan berfikir klien dan membawa klien ke arah berfikir yang lebih logik.
d. Teknik Pemberian Tugas - Konselor memberi tugas kepada klien untuk mencoba melakukan tindakan tertentu dalam situasi nyata. Misalnya, menugaskan klien bergaul dengan anggota masyarakat kalau mereka merasa dipencilkan dari pergaulan atau membaca buku untuk memperbaiki kekeliruan caranya berfikir.
2. Teknik-Teknik Emotif
Teknik-teknik emotif adalah teknik yang digunakan untuk mengubah emosi klien. Antara teknik yang sering digunakan ialah:
a. Teknik Sosiodrama - Memberi peluang mengekspresikan pelbagai perasaan yang menekan klien itu melalui suasana yang didramatisasikan sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri secara lisan, tulisan atau melalui gerakan dramatis.
b. Teknik 'Self Modelling' - Digunakan dengan meminta klien berjanji dengan konselor untuk menghilangkan perasaan yang menimpanya. Dia diminta taat setia pada janjinya.
c. Teknik 'Assertive Training' - Digunakan untuk melatih, mendorong dan membiasakan klien dengan pola perilaku tertentu yang diinginkannya.
3. Teknik-Teknik Behavioristik
Teknik ini khusus untuk mengubah tingkah laku pelajar yang tidak diingini. Antara teknik ini ialah:
a. Teknik Reinforcement - Mendorong klien ke arah perilaku yang diingini dengan jalan memberi pujian dan hukuman. Pujian pada perilaku yang betul dan hukuman pada perilaku negatif yang dikekalkan.
b. Teknik Social Modelling - Digunakan membentuk perilaku baru pada klien melalui peniruan, pemerhatian terhadap Model Hidup atau Model Simbolik dari segi percakapan dan interaksi serta pemecahan masalah.
Berdasarkan kepada penjelasan teknik di atas, dapat dilihat bahawa teknik terapi TRE ini bukan saja terbatas pada sisi konseling, tetapi juga berlaku di luar sesi konseling.
Penerapan pada Terapi individual dan kelompok
TRE yang diterapkan pada penanganan seseorang kepada seorang pada umumnya dirancang sebagai terapi yang relative singkat, Eliss, menyatakan bahwa orang-orang yang mengalamigangguan-gangguan emosional yang berat sebaiknya menjalani terapi individual atau kelompok dalam periode stu bulan atau tujuh tahun agar mereka bisa memperktekkan apa yang mereka pelajari
TRE juga sangat cocok diterapkan pada terapi kelompok karena semua anggota diajari untuk menerapkan prinsip-prinsip TRE pada rekan-rekannya dalam setting kelompok.


TEORI RASIONAL EMOTIF
Manusia dipandang sebagai makhluk yang rasional dan juga tidak rasional. Pada hakikatnya manusia itu memiliki kecenderungan untuk berfikir yang rasional atau logis, di samping itu juga ia memiliki kecenderungan untuk berfikir tidak rasional atau tidak logis,kedua kecenderungan yang di miliki oleh manusia ini akan nampak dengan jelas dan tergambar dalam bentuk tingkah laku yang nyata. Dengan kata lain dapat di jelaskan bahwa apabila seseorang telah berfikir rasional atau logis yang dapat di terima dengan akal sehat, maka orang itu akan bertingkah laku yang rasional dan logis pula. Tetapi sebaliknya apabila seseorang itu berfikir yang tidak rasional atau tidak bisa di terima oleh akal sehat maka ia akan menunjukan tingkah laku yang tidak rasional. Pola berfikir semacam inilah oleh Ellis yang di sebut sebagai penyebab bahwa seseorang itu mengalami gangguan emosionil.

Mengapa manusia itu berfikir tidak rasional, albert Ellis mengungkapkan beberapa pendapat yang bersifat universal, di antaranya:
1. bahwa seseorang itu pada hakikatnya ingin di hargai, di cintai ataupun di sayangi oleh setiap orang
2. bahwa seseorang itu memiliki kecenderungan untuk ingin yang serba sempurna dalam hidup ini.
3. bahwa di antara manusia ini tidak tergolong semuanya baik, dan ada pula manusia yang tergolong jahat, kejam, dan jelek.
4. manusia memiliki kecenderungan memandang bahwa malapetaka yang terjadi sebagai sesuatu yang tidak diingnkan.
5. ketidaksenangan, ketidakpuasan ataupun ketdak bahagiaan pada seseorang itu di pandang bersumber dari kondisi di luar dirinya semata-mata.
6. seorang memiliki kecenderungan untuk hidup tergantung pada orang lain.
7. seseorang memiliki kecenderungan lebih mudah menghindari tanggunga jawab (kesulitan-kesulitan) dari pada menghadapinya.
8. seseorang memiliki kecenderungan untuk tidak menghiraukan masalah-masalah orang lain, karena di pandang oleh seseorang bahwa masalah orang lain itu tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya sendiri.
9. pengalaman masa lalu di pandang sebagai suatu factor yang menentukan tingkah laku masa ini.
10. seseorang memiliki kecenderungan untuk mencari pemecahan suatu masalah yang sempurna.
Kesepuluh kecenderungan yang di kemukakan Ellis di atas adalah merupakan factor penyebab, kenapa manusia itu berfikir tidak rasional. Harus di yakini bahwa manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu pada dirinya.
Kepribadian yang sehat
Kepribadian yang sehat berarti sesorang hidup secara rasional artinya berfikir, berperasaan dan berprilaku sedemikian rupa, sehingga kebahagiaan hidup dapat di capai secara efisien dan efektif. Maksudnya seseorang dalam berperasaan dan bertindak menunjuk pada akal sehat. Sehingga seseorang dapat berpandangan yang realistic dan rasional, dalam rangka untuk melakukan adaptasi diri dengan baik.
Contoh: seorang anak A merasa, berfikir dan bertindak bahwa ia di sanjung dan di sayangi oleh teman-temannya hanya dapat di capai dengan bergaul yang baik, tegang-menegang, toleransi dan prestasi dalam kegiatan-kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah. Maka anak ini bisa dikatakan mempunyai pandangan dan logis dan rasional. Rasional karena hubungan sebab akibat dapat di pahami secara jelas dan langsung. Logis karena sesuai dengan kenyataan umum. Maka ini dapat dikatakan sehat mental khususnya berhubungan dengan masalah pergaulan.
Kepribadian yang tidak sehat
Berarti seseorang dalam berperasaan dan bertindak tidak menggunakan akal sehat (tidak rasional). Sehingga akan menghasilkan perasaan yang tidak membahagiakan serta tidak mendukung perilaku yang tepat, yang akhirnya menimbulkan kesukaran bagi dirinya sendiri, dimana kesuaran ini akan menggejala dalam perasaan dan dalam caranya bertindak yang diakibatkan dari cara berfikir yang keliru atau tidak normal. Misalnya bila seseorang memandang suatu kegagalan pukulan yang menghancurkan kehidupannya untuk selanjutnya (berfikir rasional), dia akan merasa putus asa dan depresi yang akhirnya bertindak yang kurang sesuai seperti menyalahkan diri sendiri dan orang lain.
Seseorang sering kali berpegang pada setumpuk keyakinan yang sebenarnya kurang masuk akal atau rasional, yang di tanamkan sejak kecil dalam lingkungan kebudayaan atau keluarga atau yang di ciptakan sendiri. Tumpukan keyakinan irasional cenderung untuk bertahan lama. Bahkan orang cenderung memperkuatnya sendiri dengan berbagai alasan.
Dalam kepribadian yang menyimpang, Ellis mengemukakan gangguan-gangguan yang terjadi pada kepribadian seseorang tentang neorosis dan psikopatologi. Neorosis di definisikan sebagai seseorang dalam berfikir dan bertingkah laku tidak raonal, dimana keadaan alam ini tidak masuk akal, sehingga menimbulkan perasaan yang negative atau tidak wajar.
Contoh: rasa depresi, gelisah,putus asa dan gelisah dsb.
Kenyataan ini berakar dalam kenyataan bahwa manusia hidup dalam masyarakat membutuhkan manusia lain. Sedangkan psikopatologi didefinisikan sebagai timbunan keyakinan-keyakinan irasional yang berasal dari orang-orang yang berpengaruh selama masa kanak-kanak,yang secara aktif membentuk keyakinan-keyakinan yang keliru dan sikap-siap yang difungsional dalam hidup dan bekerja di dalam diri. Yang mana hal tersebutdi sebabkan oleh pengulang-pengulang, pemikiran-pemikran irasional yang di terima juga pada masa lampau, yang dilakukan oleh individu sendiri.
Mengubah diri dalam berfikir irasional untuk mempertahankan keyakinan-keyakinan yang sebenarnya tidak masuk akal, ditambah dengan perasaan cemas tentang ketidakmampuanya mengubah tingkah lakunya dan akan kehilangan berbagai keuntungan yang di peroleh dari perilakunya, meskipun perubahan pada diri sendiri tidak mudah, patut di usahakan dengan menyerang kekacauan dalam berfikir dan melatih diri mewujudkan landasan pikiran yang lebih sehat dalam tingkah laku yang konkret.





Konseling Realitas
oleh : Panggih Wahyu Nugroho

Dasar Teori
Adanya konseling realitas tidak terlepas dari keberadaan William Glasser. Glasser adalah seorang tokoh yang mengemukakan tentang konseling realitas dalam bukunya reality counseling. Dalam pandangannya glasser mempunyai pandangan bahwa semua manusia memiliki kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis dan kebutuhan psikologis. Kebutuhan fisiologis yaitu kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan fisik manusia sedangkan kebutuhan psikologis yaitu :
1. kebutuhan dicintai dan mencintai
2. kebutuhan akan pengharagaan terhadap dirinya.
Kedua kebutuhan tersebut dapat digabungkan dan disebut sebagai Kebutuhan Identitas.
Kebutuhan identitas mempunyai dua arah, yang pertama adalh jika individu mengalami keberhasilan individu tersebut akan mencapai identitas kesuksesan yang disebut sebagai Success Identity. Sedangkan individu yang mengalami kegagalan disebut sebagai failure identity.
Pada dasarnya Failure identity ini dibangun oleh individu yang tidak mempunyai tanggung jawab karena menolak keberadaan realitas sosial, moral maupun dunia sekitarnya. Menurut Glasser orang yang mengalami gangguan mental adalah orang yang menolak keberadaan realitas tersebut. Dalam penolakan realitas tersebut ada dua cara yaitu:
1. mengubah dunia nyata dalam dunia pikirannya agar mereka merasa cocok.
2. mengabaikan realitas tersebut.
Sedangkan untuk mencapi success identity seorang individu harus memiliki dua kebutuhan dasar yaitu:
1. mengetahui bahwa setidaknya ada seseorang yang mencintainya dan setidaknya dia juga mencintai seoseorang.
2. memandang dirinya sebagai orang yang berguna selainsebagai stimulan dan berkeyakinan bahwa orang lain melihatnya sebagai orang yang berguna juga.
Kedua kebutuhan tersebut ada pada diri manusia bukan hanya salah satu diantaranya saja.
Kemudia Glasser bersama Zennin beranggapan bahwa tercapainya kebutuhan dasar dicintai dan dihargai akan menghasilkan pribadi yang bertanggung jawab. Konseling realitas memandang individu dari perilaku. Perilaku yang dimaksud berbaeda pada perilaku behavioristik. Perilaku tersebut adalah perilaku yang memiliki standar obyektif yang disebut sebagai reality.
Pokok pemikiran
• Pendapat tradisional yang beranggapan bahwa seseorang berperilaku tidak bertanggungjawab disebabkan oleh gangguan mental ditolak oleh Glasser. Justru ia berpendapat bahwa orang mengalami gangguan mental karena ia berperilaku tidak bertanggungjawab. Terapi realitas menekankan pada masalah moral antara benar dan salah yang harus diperhadapkan kepada konseli sebagai kenyataan atau realitas. Terapi realitas menekankan pertimbangan menyangkut nilai-nilai. Ia menekankan bahwa perubahan mustahil terjadi tanpa melihat pada tingkah laku dan membuat beberapa ketentuan mengenai sifat-sifat konstruktif dan destruktifnya.
• Pengalaman masa lalu diabaikan karena terapi realitas mengarahkan pandangan penilaiannya pada bagaimana perilaku saat ini dapat memenuhi kebutuhan konseli. Dengan kata lain terapi realitas berfokus pada tingkah laku sekarang. Meskipun tidak menganggap perasaan dan sikap tidak penting, tetapi terapi realitas menekankan kesadaran atas tingkah laku sekarang. Terapi realitas adalah proses pengajaran (teaching process)dan bukan proses penyembuhan (healing process). Itu sebabnya terapi realitas sering menggunakan pula pendekatan kognitif dengan maksud agar konseli dapat meneyesuaikan diri terhadap realitas yang dihadapinya.
• Faktor alam bawah sadar sebagaimana ditekankan pada psiko-analisis Freud tidak diperhatikan karena Glasser lebih mementingkan “apa” daripada “mengapa”-nya.
• Terapi realitas menolong individu untuk memahami, mendefinisikan, dan mengklarifikasi tujuan hidupnya.
• Terapi realitas menolak alasan tertentu atas perbuatan yang dilakukan. Misalnya, orang yang mencuri tidak boleh beralasan bahwa ia terpaksa atau kepepet, dsb.
• Terapi realitas transferensi yang dianut konsep tradisional sebab transferensi dipandang suatu cara bagi terapis untuk tetap bersembunyi sebagai pribadi.. Terapis bisa menjadi orang yang membantu para klien dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sekarang dengan membangun suatu hubungan yang personal dan tulus.
.
Perilaku Bermasalah
Dalam konseling realitas konselor tidak menganggap adanya perilaku bermasalah pada diri individu. Tetapi yang ada dalah identitas kegagalan atau identitas kesuksesan. Perilaku bermasalah sendiri dalam konseling realitas disebut sebagi failure identity atau identitas kegagalan. Adanya failure identity ditandai denganadanya :
1. keterasingan
2. penolakan diri dan irrasionalitas
3. perilaku kaku
4. tidak obyektif
5. lemah tidak bertanggung jawab
6. kurang percaya diri
7. menolak kenyataan
Prinsip Kerja
Prinsip kerja dari konseling realitas sendiri adalah berdasar atas asumsi sebagai berikut :
1. perilaku manusia didornag oleh adanya kebutuhan dasar manusia.
2. jika seorsng individu gagal, dia akan mengembangkan failure identity
3. pada dasarnya setiap individu memiliki kemampuan untuk mengubah kegagaln menjadi kesuksesan.
4. faktor tanggung jawab adalah sangat penting bagi manusia. Karena adanya sukses identity ditandai dengan tanggung jawab dari individu tersebut.
5. penilaian individu tentang dirinya juga sangat penting karena menentukan apakah dirinya termasuk pada failure identity atau pada success identity.
Tujuan konseling realitas.
Pada dasarnya tujuan dari konseling realitas adalah sama dengan tujuan dari kehidupan manusia yaitu membantu individu untuk mencapi succses identity. Telah dikatakan didepan bahwa untuk mencapai succes identity diperlukan suatu rasa tanggung jawab dari individu, untuk mencapinya individu harus mencapai kepuasan terhadap kebutuhan personal. Untuk memenuhi kepuasan terhadap kebutuhan tersebut perlu diperhatikan 3R yaitu reality (kenyataan), right (hal yang baik), responsible (tangung jawab).
Karakteristik Konselor Realitas
Dalam konseling realitas diperlukan konselor yang memiliki karakter sebagai berikut:
1. konselor harus mengutamakan keseluruhan individual yang bertanggung jawab, yang dapat memmnuhi kenbutuhannya.
2. konselor harus kuat dan yakin bahwa dia tidak pernah bijaksana. Dengan demikian konselor dapat menahan diri dari tekanan klien untuk membenarkan perilakunya dan menolak alasan dari perilaku klien yang irrasional.
3. konselor harus hangat, sensitif terhadap kemampuan untuk memahami orang lain.
4. konselor harus dapat bertukar pikiran demngan klien.
Selain itu konselor juga harus dapat meyakinkan klien bahwa kebahagiaan bukan pada proses konseling akan tetapi pada perilaku dan keputusan klien. Klien adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas dirinya.
PROSEDUR KONSELING
Beberapa prosedur yang harus diperhatikan oleh konselor realitas, prosedur konseling realitas ada delapan, yaitu:
1. Berfokus pada personal
Prosedur utama yaitu mengkomunikasikan perhatian konselor pada klien, Glasser beranggapan perlunya keterlibatan (involvement) yang maknanya sama dengan empati dalam pengertian yang dikemukakan Rogers, keterlibatab yang dicapai konselor dapat menjadi fungsi kebebasan, tanggung jawab dan otonomi pada klien.
2. Berfokus pada perilaku
Koseling realitas berfokus pada perilaku tidak pada perasaan dan sikap. Menurut Glasser karena perilaku dapat diubah dan dapat dengan mudah dikendalikan jika dibandingkan dengan perasaan atau sikap.
3. Berfokus pada saat ini
Konselor tidak perlu melakukan eksplorasi terhadap pengalaman-pengalaman yang irasional terhadap masa lalu konseli, hal ini sejalan dengan tujuan konseling menurut Glasser ada tiga tahap, yaitu membantu konseli, melihat perilakunya (yang terakhir) adalah yang tiodak realistic, menolak perilaku klien yang tidak bertanggung jawab, dan mengajarkan cara yang terbaik menemukan kebutuhannya dalam dunia riil.
4. Pertimbangan nilai
Dalam konseling relitas klien perlu menilai kualitas perilakunya sendiri apakah perilakunya itu bertanggung jawab, rasional, realistic dan benar atau justru sebaliknya, penilaian perilakunya oleh diri konseli akan membantu kesadaran tentang dirinya untuk melakukan hal-hal yang posutif.
5. Pentingnya perencanaan
Konseling realitas menganggap konseling harus mampu menyusun rencana-rencana yang realistic sehingga tingkah lainnya menjadi lebih baik, menjadi orang yang memiliki identitas keberhasilan. Dalam hal ini konselor bertugas membantu konseli untuk memperoleh pengalaman berhasil pada tingkat-tingkat yang sulit secara progresif.
6. Komitmen
Klien harus memiliki komitmen atau keterikatan untuk melaksanakan rencana itu. Komitmen ditunjukkan dengan kesediaan konseli sekaligus secara riil melaksanakan apa yang telah direncanakan. Dan konselor harus meyakinkan konseli bahwa kepuasan atau kebahagiaan sangat ditntukan oleh komitmen pelaksanaan rencana-rencana tersebut.
7. Tidak menerima dalih
Dalam hal ini ketika konseli melaporkan mengenai alasan-alasan kegagalan tersebut, sebaiknya konselor menolak menerima dalih atau alasan-alasan yang dikemukakan konseli. Justru pada saat itu konselor peril membuat rencana dan membuat komitmen baru untuk melaksanakan upaya lebuh lanjut. Dan konselor tidak perlu menanyakan mengapa kegagalan tersebut bisa terjadi, tetapi konselor sebaiknya menanyakan apa rencana lebih lanjut dan kapan mulai melaksanakannya.
8. Menhilangkan hukuman
Hukuman menurut Glasser tidak efektif dan justru memperburuk hubungan dalam konseling. Hukuman yang biasanya dialkukan dengan kata-kata mencela dan menyakitkan hati konseli harus dihilangkan, setidaknya dalam hubungan konseling. Glasser menganjurkan agar klien tidak dihukum dalam bentuk apapun dan dibiarkan belajar mendapatkan konsekuensi secara wajar dari perilakunya sendiri.
Peranan konselor
Dalam proses konseling realitas konselor juga dapat memberikan dorongan,yaitu dengan jalan memuji konseli ketika melakukan tindakan yang bertanggung jawab dan menunjukkan penolakannya jika klien tidak melakukannya.
Glasser berkeyakinan bahwa pendidikan dapat menjadi kunci yang efektif bagi hubungan kemanusiaan, dan dalam bukunya School without failure, dia menyusun sebuah program untuk membatasi kesalahan dan kegagalan, dengan memasukkannya ke dalam kurikulum yang relevan, mengganti system disiplin hukuman, menciptakan pengalaman belajar, sehingga siswa dapat memaksimalkan pengalamannya menjadi berhasil, membuat motivasi dan tantangan, membantu siswa mengembangkan perilaku yang bertanggung jawab, dan menetapkan cara melibatkan orang tua dan masyarakat dalam kegiatan sekolah yang relevan.
Jadi pendekatan reality therapy adalah aktif, membimbing, mendidik dan terapi yang berorientasi pada cognitive behavioral. Metode kontrak selalu digunakan dan jika kontrak terpenuhi maka proses konseling dapat diakhiri. Pendekatannya dapat menggunakan “mendorong” atau “menantang”. Jadi pertanyaan “what”dan “how” yang digunakan, sedangkan “why” tidak digunakan. Hal ini sangat penting untuk membuat rencana terus sehingga klien dapat memperbaiki perilakunya.
Daftar Pustaka
Latipun, 2006, Psikologi Konseling, Malang, UMM Press
http://64.203.71.11/kompas-cetak/0503/23/opini/1634844.htm
www.tiranus.net/2007/terapi_realitas.php
http://en.wikipedia.org/wiki/William_Glasser


Kamis, 2009 Januari 22
terapi realitas
A. Konsep Dasar
Terapi Realitas merupakan suatu bentuk hubungan pertolongan yang praktis, relatif sederhana dan bentuk bantuan langsung kepada konseli, yang dapat dilakukan oleh guru atau konselor di sekolah daam rangka mengembangkan dan membina kepribadian/kesehatan mental konseli secara sukses, dengan cara memberi tanggung jawab kepada konseli yang bersangkutan.
Terapi Realitas berprinsip seseorang dapat dengan penuh optimis menerima bantuan dari terapist untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan mampu menghadapi kenyataan tanpa merugikan siapapun.
Terapi Realitas lebih menekankan masa kini, maka dalam memberikan bantuan tidak perlu melacak sejauh mungkin pada masa lalunya, sehingga yang paling dipentingkan adalah bagaimana konseli dapat memperoleh kesuksesan pada masa yang akan datang.
Adalah William Glasser sebagai tokoh yang mengembangkan bentuk terapi ini. Menurutnya, bahwa tentang hakikat manusia adalah:


1.Bahwa manusia mempunyai kebutuhan yang tunggal, yang hadir di seluruh kehidupannya, sehingga menyebabkan dia memiliki keunikan dalam kepribadiannnya.
2.Setiap orang memiliki kemampuan potensial untuk tumbuh dan berkembang sesuai pola-pola tertentu menjadi kemampuan aktual. Karennya dia dapat menjadi seorang individu yang sukses.
3.Setiap potensi harus diusahakan untuk berkembang dan terapi realitas berusaha membangun anggapan bahwa tiap orang akhirnya menentukan nasibnya sendiri
B. Ciri-Ciri Terapi Realitas
1.Menolak adanya konsep sakit mental pada setiap individu, tetapi yang ada adalah perilaku tidak bertanggungjawab tetapi masih dalam taraf mental yang sehat.
2.Berfokus pada perilaku nyata guna mencapai tujuan yang akan datang penuh optimisme.
3.Berorientasi pada keadaan yang akan datang dengan fokus pada perilaku yang sekarang yang mungkin diubah, diperbaiki, dianalisis dan ditafsirkan. Perilaku masa lampau tidak bisa diubah tetapi diterima apa adanya, sebagai pengalaman yang berharga.
4.Tidak menegaskan transfer dalam rangka usaha mencari kesuksesan. Konselor dalam memberikan pertolongan mencarikan alternatif-alternatif yang dapat diwujudkan dalam perilaku nyata dari berbagai problema yang dihadapi oleh konseli .
5.Menekankan aspek kesadaran dari konseli yang harus dinyatakan dalam perilaku tentang apa yang harus dikerjakan dan diinginkan oleh konseli . Tanggung jawab dan perilaku nyata yang harus diwujudkan konseli adalah sesuatu yang bernilai dan bermakna dan disadarinya.
6.Menghapuskan adanya hukuman yang diberikan kepada individu yang mengalami kegagalan., tetapi yang ada sebagai ganti hukuman adalah menanamkan disiplin yang disadari maknanya dan dapat diwujudkan dalam perilaku nyata.
7.Menekankan konsep tanggung jawab agar konseli dapat berguna bagi dirinya dan bagi orang lain melalui perwujudan perilaku nyata.
C. Tujuan Terapi
1.Menolong individu agar mampu mengurus diri sendiri, supaya dapat menentukan dan melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.
2.Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul segala resiko yang ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya dalam perkembangan dan pertumbuhannya.
3.Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
4.Perilaku yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang sukses, yang dicapai dengan menanamkan nilai-nilai adanya keinginan individu untuk mengubahnya sendiri.
5.Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran sendiri.
D. Proses Konseling (Terapi)
Konselor berperan sebagai:
1.Motivator, yang mendorong konseli untuk: (a) menerima dan memperoleh keadaan nyata, baik dalam perbuatan maupun harapan yang ingin dicapainya; dan (b) merangsang klien untuk mampu mengambil keputusan sendiri, sehingga klien tidak menjadi individu yang hidup selalu dalam ketergantungan yang dapat menyulitkandirinya sendiri.
2.Penyalur tanggung jawab, sehingga: (a) keputusan terakhir berada di tangan konseli; (b) konseli sadar bertanggung jawab dan objektif serta realistik dalam menilai perilakunya sendiri.
3.Moralist; yang memegang peranan untuk menetukan kedudukan nilai dari tingkah laku yang dinyatakan kliennya. Konselor akan memberi pujian apabila konseli bertanggung jawab atas perilakunya, sebaliknya akan memberi celaan bila tidak dapat bertanggung jawab terhadap perilakunya.
4.Guru; yang berusaha mendidik konseli agar memperoleh berbagai pengalaman dalam mencapai harapannya.
5.Pengikat janji (contractor); artinya peranan konselor punya batas-batas kewenangan, baik berupa limit waktu, ruang lingkup kehidupan konseli yang dapat dijajagi maupun akibat yang ditimbulkannya.
Teknik-Teknik dalam Konseling
1.Menggunakan role playing dengan konseli
2.Menggunakan humor yang mendorong suasana yang segar dan relaks
3.Tidak menjanjikan kepada konseli maaf apapun, karena terlebih dahulu diadakan perjanjian untuk melakukan perilaku tertentu yang sesuai dengan keberadaan klien.
4.Menolong konseli untuk merumuskan perilaku tertentu yang akan dilakukannya.
5.Membuat model-model peranan terapis sebagai guru yang lebih bersifat mendidik.
6.Membuat batas-batas yang tegas dari struktur dan situasi terapinya
7.Menggunakan terapi kejutan verbal atau ejekan yang pantas untuk mengkonfrontasikan konseli dengan perilakunya yang tak pantas.
8.Ikut terlibat mencari hidup yang lebih efektif

Bu Fauzi Buka Pelatihan Konseling Feminis
[Lumajang.go.id] Kekerasan terhadap perempuan terjadi sebagai akibat hubungan yang tidak simetris antara laki-laki dan perempuan dan jauh dari kemitrasejajaran. Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sebenarnya sudah sangat lama berlangsung, namun sebagian besar masyarakat belum memahaminya sebagai bentuk pelanggaran hak Asasi Manusia (HAM).

Maka sudah tepatlah kalau kegiatan sosialisasi tentang peraturan yang memberikan perlindungan hukum perempuan dan anak dijalankan oleh P2T P2A, Dan upaya-upaya lain harus terus menerus dilakukan untuk membangun kesadaran publik terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang mengarah pada dukungan keprrpihakan pada perempuan dan anak korban kekerasan.

Demikian antara lain sambutan Ketua P2T P2A Kabupaten Lumajang Ibu Hamidah Fauzi, saat membuka kegiatan pelatihan Konseling Feminin dan Managemen kasus P2T P2A yang berlangsung di Hotel Agung Lumajang, yang diikuti oleh sekitar 40 orang dari Gabungan Organisasi Wanita Kabupaten.

Lebih lanjut dijelaskan oleh Hamidah Fauzi, bahwa dengan pelatihan konseling Feminin ini merupakan salah satu upaya yang secara internal perlu dilakukan untuk penguatan kelembagaan bagi pendampingan P2T P2A, sehingga dalam memberikan layanan pendampingan dapat berperan lebih baik dan bisa maksimal.

Keberadaan lembaga Pusat pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2T P2A) Kabupaten Lumajang saat ini telah memasuki usia 3 tahun, usia ini kata Hamidah Fauzi dinilai sangat muda untuk dinilai perjalanan keberhasilannya, namun ditinjau dari peran yang telah dilakukan sebagai wadah atau pusat pelayanan terhadsap perempuan dan anak korban kekerasan telah cukup memberikan warna di Lumajang.

Dijelaskan oleh Hamidah Fauzi, bahwa pada acara peringatan Hari Kartini yang lalu P2T P2A telah membuat MoU dengan Dinas Kesehatan Lumajang dan RSUD serta Rumah Sakit Swasta yang ada di Lumajang dalam rangka untuk pembebasan Visum Et Repertum dan pengobatan dasar bagi perempuan dan anak korban kekerasan.

Dan beberapa Minggu sebelumnya berdasarkan Advokasi yang diberikan di Lumajang, dasar hukum penyelenggaraan lembaga yang memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak sudah ditingkatkan menjadi Peraturan Daerah (Perda), “Itupun merupakan angina segara yang harus dapat kita tangkap terhadap peluang-peluang yang lebih” ujarnya.

Sementara dalam memberikan pelayanan pendampingan khususnya dalam penyediaan sarana/prasarana dan penganggarannya sudah tercukupi, sehingga nantinya kita berharap P2T P2A dapat berperan lebih optimal serta berdaya dan berhasil guna.

Bu Hamidah Fauzi mengajak pada semua peserta pelatihan, untuk berani melakukan perubahan atas pandangan masyarakat yang menyatakan bahwa kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dan anak dalam keluarga sebagai masalah internal keluarga menjadi masalah bersama.

Dengan demikian kita semua punya tanggung jawab untuk menghapuskan dan kita sepakat, bahwa di Lumajang jangan sampai terjadi seorang anak dan perempuan yang mengalami kekerasan dan dengan semangat Gerbangmas 2007, saya yakin hal ini bisa kita wujudkan, karena masyarakat merupakan kekuatan utama dalam proses perubahan itu” pungkasnya.


Pendekatan Konseling Behavioral
Diterbitkan 23 Januari 2008 bimbingan dan konseling 14 Comments
Tags: artikel, berita, konseling, makalah, metode, opini, pendekatan, pendidikan, strategi, teknik, umum

Konsep Dasar
Manusia adalah mahluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari luar.
Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian.
Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak dan macamnya penguatan yang diterima dalam situasi hidupnya.
Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan melalui hukum-hukum belajar : (a) pembiasaan klasik; (b) pembiasaan operan; (c) peniruan.
Tingkah laku tertentu pada individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidak puasan yang diperolehnya.
Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar, sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku.
Karakteristik konseling behavioral adalah : (a) berfokus pada tingkah laku yang tampak dan spesifik, (b) memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling, (c) mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien, dan (d) penilaian yang obyektif terhadap tujuan konseling.
B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
1. Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan.
2. Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentu dari cara belajar atau lingkungan yang salah.
3. Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat.
4. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar
C. Tujuan Konseling
Mengahapus/menghilangkan tingkah laku maldaptif (masalah) untukdigantikan dengan tingkah laku baru yaitu tingkah laku adaptif yang diinginkan klien.
Tujuan yang sifatnya umum harus dijabarkan ke dalam perilaku yang spesifik : (a) diinginkan oleh klien; (b) konselor mampu dan bersedia membantu mencapai tujuan tersebut; (c) klien dapat mencapai tujuan tersebut; (d) dirumuskan secara spesifik
Konselor dan klien bersama-sama (bekerja sama) menetapkan/merumuskan tujuan-tujuan khusus konseling.
D. Deskripsi Proses Konseling
Proses konseling adalah proses belajar, konselor membantu terjadinya proses belajar tersebut.
Konselor aktif :
1. Merumuskan masalah yang dialami klien dan menetapkan apakah konselor dapat membantu pemecahannya atu tidak
2. Konselor memegang sebagian besar tanggung jawab atas kegiatan konseling, khususnya tentang teknik-teknik yang digunakan dalam konseling
3. Konselor mengontrol proses konseling dan bertanggung jawab atas hasil-hasilnya.
Deskripsi langkah-langkah konseling :
1. Assesment, langkah awal yang bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika perkembangan klien (untuk mengungkapkan kesuksesan dan kegagalannya, kekuatan dan kelemahannya, pola hubungan interpersonal, tingkah laku penyesuaian, dan area masalahnya) Konselor mendorong klien untuk mengemukakan keadaan yang benar-benar dialaminya pada waktu itu. Assesment diperlukan untuk mengidentifikasi motode atau teknik mana yang akan dipilih sesuai dengan tingkah laku yang ingin diubah.
2. Goal setting, yaitu langkah untuk merumuskan tujuan konseling. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari langkah assessment konselor dan klien menyusun dan merumuskan tujuan yang ingin dicapai dalam konseling. Perumusan tujuan konseling dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : (a) Konselor dan klien mendifinisikan masalah yang dihadapi klien; (b) Klien mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling; (c) Konselor dan klien mendiskusikan tujuan yang telah ditetapkan klien : (a) apakah merupakan tujuan yang benar-benar dimiliki dan diinginkan klien; (b) apakah tujuan itu realistik; (c) kemungkinan manfaatnya; dan (d)k emungkinan kerugiannya; (e) Konselor dan klien membuat keputusan apakahmelanjutkan konseling dengan menetapkan teknik yang akan dilaksanakan, mempertimbangkan kembali tujuan yang akan dicapai, atau melakukan referal.
3. Technique implementation, yaitu menentukan dan melaksanakan teknik konseling yang digunakan untuk mencapai tingkah laku yang diinginkan yang menjadi tujuan konseling.
4. Evaluation termination, yaitu melakukan kegiatan penilaian apakah kegiatan konseling yang telah dilaksanakan mengarah dan mencapai hasil sesuai dengan tujuan konseling.
5. Feedback, yaitu memberikan dan menganalisis umpan balik untuk memperbaiki dan meingkatkan proses konseling.
Teknik konseling behavioral didasarkan pada penghapusan respon yang telah dipelajari (yang membentuk tingkah laku bermasalah) terhadap perangsang, dengan demikian respon-respon yang baru (sebagai tujuan konseling) akan dapat dibentuk.
Prinsip Kerja Teknik Konseling Behavioral
• Memodifikasi tingkah laku melalui pemberian penguatan. Agar klien terdorong untuk merubah tingkah lakunya penguatan tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat dan dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan melalui tingkah laku klien.
• Mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak diinginkan.
• Memberikan penguatan terhadap suatu respon yang akan mengakibatkan terhambatnya kemunculan tingkah laku yang tidak diinginkan.
• Mengkondisikan pengubahan tingkah laku melalui pemberian contoh atau model (film, tape recorder, atau contoh nyata langsung).
• Merencanakan prosedur pemberian penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan dengan sistem kontrak. Penguatannya dapat berbentuk ganjaran yang berbentuk materi maupun keuntungan sosial.
Teknik-teknik Konseling Behavioral
Latihan Asertif
Teknik ini dugunakan untuk melatih klien yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar. Latihan ini terutama berguna di antaranya untuk membantu individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan tidak, mengungkapkan afeksi dan respon posistif lainnya. Cara yang digunakan adalah dengan permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-diskusi kelompok juga dapat diterapkan dalam latihan asertif ini.
Desensitisasi Sistematis
Desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokukskan bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks. Esensi teknik ini adalah menghilangkan tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakikatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan.
Pengkondisian Aversi
Teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengamati respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut.
Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya tingkah laku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara tingkah laku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
Pembentukan Tingkah laku Model
Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku baru pada klien, dan memperkuat tingkah laku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang tingkah laku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis tingkah laku yang hendak dicontoh. Tingkah laku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.
Sumber : Dr. DYP Sugiharto, M.Pd. Pendekatan-Pendekatan Konseling. (Makalah)

Rabu, Agustus 13, 2008
Pendekatan Konseling Behavioral
Manusia adalah mahluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari luar. Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak dan macamnya penguatan yang diterima dalam situasi hidupnya.

Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan melalui hukum-hukum belajar : (a) pembiasaan klasik; (b) pembiasaan operan; (c) peniruan.


Tingkah laku tertentu pada individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidak puasan yang diperolehnya.Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar, sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku.

Karakteristik konseling behavioral adalah :
(a) berfokus pada tingkah laku yang tampak dan spesifik,
(b) memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling,
(c) mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien,
(d) penilaian yang obyektif terhadap tujuan konseling.

B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan. Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentu dari cara belajar atau lingkungan yang salah. Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar

C. Tujuan Konseling

Mengahapus/menghilangkan tingkah laku maldaptif (masalah) untukdigantikan dengan tingkah laku baru yaitu tingkah laku adaptif yang diinginkan klien.
Tujuan yang sifatnya umum harus dijabarkan ke dalam perilaku yang spesifik :
(a) diinginkan oleh klien;
(b) konselor mampu dan bersedia membantu mencapai tujuan tersebut;
(c) klien dapat mencapai tujuan tersebut;
(d) dirumuskan secara spesifik

Konselor dan klien bersama-sama (bekerja sama) menetapkan/merumuskan tujuan-tujuan khusus konseling.


D. Deskripsi Proses Konseling

Proses konseling adalah proses belajar, konselor membantu terjadinya proses belajar tersebut.

Konselor aktif :
Merumuskan masalah yang dialami klien dan menetapkan apakah konselor dapat membantu pemecahannya atau tidak. Konselor memegang sebagian besar tanggung jawab atas kegiatan konseling, khususnya tentang teknik-teknik yang digunakan dalam konseling. Konselor mengontrol proses konseling dan bertanggung jawab atas hasil-hasilnya.

Deskripsi langkah-langkah konseling :
Assesment, langkah awal yang bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika perkembangan klien (untuk mengungkapkan kesuksesan dan kegagalannya, kekuatan dan kelemahannya, pola hubungan interpersonal, tingkah laku penyesuaian, dan area masalahnya) Konselor mendorong klien untuk mengemukakan keadaan yang benar-benar dialaminya pada waktu itu. Assesment diperlukan untuk mengidentifikasi motode atau teknik mana yang akan dipilih sesuai dengan tingkah laku yang ingin diubah. Goal setting, yaitu langkah untuk merumuskan tujuan konseling. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari langkah assessment konselor dan klien menyusun dan merumuskan tujuan yang ingin dicapai dalam konseling.
Perumusan tujuan konseling dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
(a) Konselor dan klien mendifinisikan masalah yang dihadapi klien;
(b) Klien mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling; (c) Konselor dan klien mendiskusikan tujuan yang telah ditetapkan klien :
• apakah merupakan tujuan yang benar-benar dimiliki dan diinginkan klien;
• apakah tujuan itu realistik;
• kemungkinan manfaatnya; dan
• kemungkinan kerugiannya;
• Konselor dan klien membuat keputusan apakah melanjutkan konseling dengan menetapkan teknik yang akan dilaksanakan, mempertimbangkan kembali tujuan yang akan dicapai, atau melakukan referal.

Technique implementation, yaitu menentukan dan melaksanakan teknik konseling yang digunakan untuk mencapai tingkah laku yang diinginkan yang menjadi tujuan konseling.
Evaluation termination, yaitu melakukan kegiatan penilaian apakah kegiatan konseling yang telah dilaksanakan mengarah dan mencapai hasil sesuai dengan tujuan konseling.
Feedback, yaitu memberikan dan menganalisis umpan balik untuk memperbaiki dan meingkatkan proses konseling.

Teknik konseling behavioral didasarkan pada penghapusan respon yang telah dipelajari (yang membentuk tingkah laku bermasalah) terhadap perangsang, dengan demikian respon-respon yang baru (sebagai tujuan konseling) akan dapat dibentuk.

Prinsip Kerja Teknik Konseling Behavioral
(a) Memodifikasi tingkah laku melalui pemberian penguatan. Agar klien terdorong untuk merubah tingkah lakunya penguatan tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat dan dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan melalui tingkah laku klien.
(b) Mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak diinginkan.
(c) Memberikan penguatan terhadap suatu respon yang akan mengakibatkan terhambatnya kemunculan tingkah laku yang tidak diinginkan.
(d) Mengkondisikan pengubahan tingkah laku melalui pemberian contoh atau model (film, tape recorder, atau contoh nyata langsung).
(e) Merencanakan prosedur pemberian penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan dengan sistem kontrak. Penguatannya dapat berbentuk ganjaran yang berbentuk materi maupun keuntungan sosial.

Teknik-teknik Konseling Behavioral

Latihan Asertif

Teknik ini dugunakan untuk melatih klien yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar. Latihan ini terutama berguna di antaranya untuk membantu individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan tidak, mengungkapkan afeksi dan respon posistif lainnya. Cara yang digunakan adalah dengan permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-diskusi kelompok juga dapat diterapkan dalam latihan asertif ini.

Desensitisasi Sistematis

Desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokukskan bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks. Esensi teknik ini adalah menghilangkan tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakikatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan.

Pengkondisian Aversi

Teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengamati respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut.

Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya tingkah laku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara tingkah laku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.

Pembentukan Tingkah laku Model

Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku baru pada klien, dan memperkuat tingkah laku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang tingkah laku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis tingkah laku yang hendak dicontoh. Tingkah laku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.

Sumber : Dr. DYP Sugiharto, M.Pd. Pendekatan-Pendekatan Konseling. (Makalah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar